Perang tarif tersebut tecermin dalam rencana kebijakan Trump yang akan mengerek tarif bea masuk yang semula berkisar di 5-10% menjadi lebih dari 20%, bahkan bisa mencapai 200%.
"Ini yang harus kita cermati. artinya apa? banyak negara-negara lawan yang akan berlakukan hal yang sebaliknya. Jadi kalau US melakukan bea masuk tinggi, pasti lawan dagangnya juga akan begitu."
IHSG Bisa ke 7.000
Di sisi lain, Bernad juga memprediksi hal tersebut akan membuat IHSG kemungkinan berada di level 7.000, berdasarkan analisis teknikalnya.
Namun, dia menggarisbawahi hal tersebut tidak akan terjadi secara tiba-tiba. Itu lantaran masih ada sejumlah sentimen positif soal potensi penurunan suku bunga The Fed, yang akan juga diikuti oleh Bank Indonesia dalam waktu dekat.
"Saat ini, kalau lihat bond yield 10 years Indonesia itu malah turun, dari 6,8 ke 6,75. itu berarti harga bond malah naik. di sini berarti ada pengalihan portofolio dari penjualan saham ke bond. Jadi menurut saya ini bukan total outflow dari asing, dia lagi mengamankan posisi dari market equity kita ke bond market kita. Sambil wait and see arah ke depannya."
"Jadi jangan dilihat 7.000 nya dulu, saya tidak mau menakuti-nakuti. IHSG ini bisa terjadi ditarget 7000 kalau confirm, menjelang itu pasti akan uji neckline." kata dia.
Mitra Dagang RI
Analis Algo Research Alvin Baramuli mengamini adanya potensi risiko untuk bursa saham RI.
Dia menjelaskan, AS merupakan salah satu mitra dagang terbesar Indonesia. Ekspor terbesar Indonesia ke AS meliputi pakaian dan aparel, barang-barang elektronik, sayuran dan beberapa produk lain.
Ekspor Indonesia ke AS sepanjang Januari-Agustus 2024 mencapai US$16,9 triliun atau setara sekitar Rp267 triliun.
Jika disetahunkan, nilai ekspor RI ke AS diperkirakan mencapai Rp399,74 triliun. Perkiraan ini meningkat 9,4% secara tahunan dibanding realisasi tahun lalu, US$23,1 miliar.
Angka itu menunjukkan AS merupakan pasar ekspor RI terbesar kedua setelah China.
Jika ditelisik lebih jauh lagi, AS merupakan sumber surplus perdagangan kedua terbesar RI. Surplus tahun ini diperkirakan mencapai US$13,5 miliar, naik 17% dibanding realisasi tahun lalu.
Perlu dicatat bahwa perdagangan neto atau net trade yang menentukan surplus perdagangan merupakan indikator yang baik untuk mengukur dampak pada pertumbuhan PDB karena tidak hanya memperhitungkan kontribusi positif dari ekspor, tetapi juga dampak negatif dari impor.
"Dengan demikian, setiap perlambatan atau kerugian dari pasar AS akan sangat merugikan perekonomian Indonesia yang dapat menghambat prospek pertumbuhan lapangan kerja," jelas Alvin.
Dengan pengenaan tarif 20% saja, perusahaan di AS perlu membayar tambahan US$5 miliar setiap tahun untuk barang-barang impor dari Indonesia. Tambahan ini menggunakan asumsi nilai impor dari RI sebesar US$25 miliar per tahun.
"Pertanyaannya sekarang adalah, apakah perusahaan di AS bisa mentransmisikan beban tarif itu dengan menaikkan harga jual produk ke konsumen? Jika tidak, perusahaan AS akan menurunkan permintaan [impor], sehingga akan memukul penjualan dan keuntungan perusahaan Indonesia," tutur Alvin.
(ibn/dhf)