"Secara psikologis, China kini lebih siap dalam menghadapi dia lagi," kata Zhou Bo, pensiunan kolonel Tentara Pembeasan China dan pakar dari Pusat Keamanan dan Strategi Internasional Universitas Tsinghua.
Kementerian Luar Negeri China pada Rabu (6/11/2024) mengucapkan selamat atas kemanan Trump di pilpres AS dan mengatakan menghormati pilihan warga AS.
Meski demkian, Xi lebih suka menghindari perang tarif yang bisa menyebabkan lebih banyak kerugian dari pada kali pertama.
China saat ini bergantung pada eskpor barang seperti kendaraan listrik dan beterai untuk mendukung perekonomian yang dilanda tekanan deflasi dan kelesuan di sektor properti. Kongres China minggu ini mengadakan pertemuan untuk memformulasi langkah-langkah memicu pertumbuhan.
Jika Trump benar-benar mewujudkan ancaman tarifnya itu, pemerintah China harus berbuat lebih lagi untuk membantu perekonomian.
Goldman Sach Group Inc minggu lalu mengatakan pembatasan perdagangan dengan China yang lebih ketat bisa membuat Xi beralih taktik ke langkah memicu konsumsi dalam negeri, kebijakan yang secara tradisional dihindari oleh Partai Komunis.
Pada Rabu (5/11/2024) nilai mata uang yuan mencapai titik terendah dalam dua tahun dan bursa negara itu pun jatuh. Situasi ini adalah awalan dari volatilitas yang akan terjadi setelah Tump dilantik menjadi presiden nanti.
Harga yuan offshore jatuh hingga 1,3% terhadap dolar, penurunan terbesar dalam satu hari sejak Oktober 2022. Harga saham perusahaan China di pasar bursa Hong Kong juga banyak dilepas investor sehingga indeks Hang Seng ditutup turun 2,6%.
"China akan susah melakukan aksi balasan atas tarif sebesar 60%," kata Alicia Garcia Herrero, ekonom dari Natixis SA. "Yang akan dilakukan China adalah mengumumkan stimulus lebih besar untuk melawan sehingga pasar tidak menghukum China."
Pada masa jabatan pertama Trump, setelah dua tahun diancam, masalah tarif ini berakhir dengan kesepakatan yang ditandatangani Januari 2020 bahwa China berjanji akam membeli barang produk AS bernilai US$200 miliar untuk mencoba mengakhiri perdagangan tidak seimbang dengan AS.
Namun, wabah Covid yang terjadi pada saat itu membuat hubungan kedua negara memburuk dan China tidak pernah mencapai target itu karena ekspor dari negara itu meningkat tajam selama pandemi.
Ancaman perang baru akan lebih berdampak besar pada perdagangan global. Tahun lalu, perusahaan-perusahaan China mengekspor barang bernilai US$500 miliar ke AS, atau sekitar 15% dari nilai seluruh ekspor negara itu.
Jika AS akan menerapkan tarif tinggi pada seluruh atau sebagian barang-baran itu, penjualan itu akan terkikis habis dan memukul perusahaan-perusahaan China yang sudah menghadapi masalah penurunan daya beli domestik dan juga di sisi harga.
Menurut Scott Kennedy dari CSIS WAshington para pejabat China tidak mau terlalu bereaksi terhadap ancaman tarif baru Trump itu tapi mereka juga tidak mau terlihat lemah.
Menurut Kennedy opsi lain pemerintah Xi adalah menyasar perusahaan-perusahaan AS yang memiliki kepentingan besar di China, menjual obligasi AS, menurunkan nilai yuan dan berupaya memperluas pasar di Eropa dan Amerika Latin.
"Mereka tidak mau lagi diperlakukan seperti boneka pinata dan berniat melakukan perlawanan," kata Kennedy. "Mereka siap menghadapi Trump dan melawan api dengan api jika diperlukan."
Satu kartu China adalah faktor Elon Musk sebagai pendukung utaam kampanye Trump. CEO Tesla Inc ini memiliki kepentingan bisnis besar di China sehingga muncul kemungkinan dia bisa memberi masukan terkait pendekatan yang lebih lunak.
Dalam pidato kemenangannya pada Rabu (06/11/2024) dini hari waktu AS, Trump memuji-muji Musk.
Tetapi jika perang dagang pecah, China sudah siap melakukan pembalasan, dan ekspor produk pertanian AS akan kembali menjadi target pertama.
Sejak pemerintahan pertama Trump, Brasil memperkuat posisi sebagai pemasok kedelai terbesar ke China dan juga jagung, menggantikan lonjakan ekspor AS ke China sebagai bagian dari kesepakatan dagang 2020. Pada 2016 AS memasok lebih dari 40% impor kedelai China, namun turun menjadi kurang dari 18% dalam sembilan bulan pertama tahun ini.
Perlambatan ekonomi China juga memberi ruang lebih besar bagi Beijing karena permintaan akan babi - selain jagung dan kedelai untuk pakan babi - turun. Ini membuat China tidak terlalu tergantung pada impor dan bisa dengan mudah mengalihkan pembelian dari China ke negara lain.
"Aksi balas-membalas dari China sudah hampir pasti," kata Zhou Xiaoming, periset dan mantan wakil perwakilan China di kantor PBB di Jenewa.
"Sasaran empuk antara lain jagung dan kedelai. Negara ini berada di posisi lebih baik dibanding tahun 2018 untuk melakukan aksi balasan karena China berhasil membuat Brasil menjadi sumber alternatif sumber impor yang ada dan bisa mengurangi impor dari AS."
Namun, di saat berdsamaan China memiliki target yang terbatas. Impor negara ini dari AS turun dari puncak pada 2021 dan Bejing belum menandatangani kontrak pembelian pesawat jet baru Boeing Co yang berarti sasaran balasan berkurang satu.
Selain penurunan hubungan dagang, investasi langsung antara AS dan China juga berkurang: Data PBB menunjukkan bahwa investasi China di bursa saham AS tahun lalu turun 28% dari puncak pada 2019.
Hal ini menimbulkan spekulasi bahwa China akan mendevaluasi mata uangnya sehingga eskpor barang negara itu menjadi murah.
Meski langkah resmi devaluasi oleh China dilakukan pada 2015, pihak berwenang China membiarkan mata uang yuan jatuh hampir 7,2 terhadap dolar pada pertengahan 2018 hingga pertengahan 2019 ketika perang dagang pertama mulai terjadi. Hal ini membuat ekspor menjadi murah dan menjadi bantalan bagi tarif yang dikenakan Trump.
Nilai mata yang China itu saat ini berada di sekitar level yang sama, tetapi jika diturunkan kembali ada risiko mitra dagang lain di dunia akan marah dan mendorong mereka mengenakan tarif pada barang-barang asal China. Banjir produk baja murah dari China telah memicu sejumlah negara menaikkan tarif pada metal itu dan kebijakan ini bisa melebar ke produk lain dalam perang dagang umum.
Satu alat perang baru yang dimiliki Xi adalah kendali ekspor, kebijakan yang sering kali digunakan AS terhadap China.
Tahun lalu, Beijing membatasi penjualan Gallium dan germanium, dua jenis metal yang banyak digunakan di produk cip, peralatan komunikasi dan industri pertahanan.
Kini, China bisa menerapkan pembatasan pada barang-barang mentah kriris yang diperlukan AS untuk teknologi strategis seperti antimony yang digunakan di sebagian alat semikonduktor.
China kini juga memiliki proses yang lebih formal dalam memberi sanksi perusahaan asing. Pihak berwenang mengatakan bahwa China mulai menyelikdiki PVH Corp, perusahaan induk Tommy Hilfiger dan Calvin Klein, karena tidak menggunakan katun dari daerah Xinjiang. Pemerintah AS membatasi perdagagangan karena keprihatinan terhadap hak asasi manusia. Beijing juga memberi sanksi pada satu perusahaan drone AS karena memasok Taiwan dan melarangnya membeli onderdil dari China.
Pada akhirnya, China lebih suka mencapai kesepakatan dengan Trump. Presiden terpilih ini sudah memberi isyarat bahwa dia terbuka dengan investasi China di AS yang akan bisa menjadi basis dari satu kesepaktan.
"Trump itu politisi pragmatis yang memusatkan perhatian pada pemecahan masalah-masalah tertentu," kata Henry Wang Huiyao, pendiri perusahaan riset di Beijing.
"China berada di depan di sektor kendaraan listrik dan ekpnomi hijau. Ada kesempatan besar bagi perusahaan China untuk membantu AS kembali berjaya," tambahnya.
Tentu saja Beijing mengakui bahwa China bisa berharap untuk mendapatkan yang terbaik tetapi bersiap menghadapi yang terburuk. Dan tidak akan ada banyak opsi jika Trump menerapkan ancaman-ancaman ekstrim yang akan merugikan AS dan menaikkan harga bagi konsumen negara itu.
"Kita sudah berbicara banyak tentang langkah yang bisa diambil China dalam skenario ini, tetapi pada akhirnya tidak akan ada banyak yang bisa dipersiapkan," kata Tu Xinquan, mantan penasehat Kementerian Perdagangan China.
"Tidak ada obat yang mujarab," tambahnya. "Kita hanya bisa menghadapi masalah jika masalah itu sudah nyata di depan mata.
(bbn)