Pemerintahan Trump akan berupaya mewujudkan agenda 'Make America Great Again' dengan berbagai rencana kebijakan baru. Mulai dari kenaikan tarif impor, pemangkasan tarif pajak, pembatasan ketat imigrasi, yang kesemua itu ditujukan untuk mengerek perekonomian dalam negeri AS dan melindungi intrusi barang dan tenaga kerja murah dari luar.
Kebijakan-kebijakan itu sejatinya sudah pernah diterapkan pada era Pemerintahan Trump tahun 2017-2021 hingga membawa korporasi di AS menikmati lonjakan keuntungan. Namun, efek lain juga menyertai yakni inflasi. Ditambah hantaman pandemi membuat lonjakan harga tak terbendung sampai butuh waktu bertahun-tahun untuk mengatasinya.
Para 'penjaga' pasar US Treasury, 'vigilante', terus menaikkan yield mengantisipasi lonjakan defisit fiskal yang diprediksi akan membesar demi membiayai belanja pemerintahan AS ke depan juga potensi inflasi yang menyertai. Yield UST-10Y melesat tajam menyentuh 4,43%, dengan tenor panjang 30Y bahkan melompat 23 bps ke 4,67%.
Alhasil, selisih imbal hasil obligasi rupiah dengan US Treasury makin sempit tinggal 232 bps menjadikan aset-aset di pasar domestik terutama surat utang jadi tidak menarik.
Berikut ini rangkuman isu yang menjadi perhatian dan berdampak pada pergerakan pasar ke depan, termasuk di Indonesia:
Tarif Impor
Analisis JPMorgan yang dilansir sebelum Pemilu AS, mencatat, kenaikan tarif impor yang substansial akan menjadi representasi kebijakan paling signifikan dari pemerintahan Trump dan berpotensi menjadi sumber volatilitas terbesar.
“Latar belakang makro saat ini jauh berbeda dibandingkan delapan tahun yang lalu, ketika siklus bisnis berada pada pertengahan siklus, pasar tenaga kerja tidak terlalu ketat, inflasi tidak masuk dalam radar The Fed, dan kebijakan pro-pertumbuhan 1.0 lebih mudah diterapkan dan lebih berdampak laba korporasi,” kata Strategist JPMorgan termasuk Dubravko Lakos-Bujas, dikutip dari Bloomberg.
Trump berencana mengerek tarif barang impor dari Tiongkok hingga 60% dan dari negara lain sebesar 10%. Hitungan JPMorgan, kenaikan tarif itu bisa merugikan laba perusahaan S&P 500 sebanyak US$15 per saham, jumlah itu bisa menghapus hampir setengah kenaikan pendapatan tahun depan.
Skenario lain kebijakan tarif dengan kenaikan keseluruhan 20%, bisa menurunkan Produk Domestik Bruto AS sebesar 0,8% dan meningkatkan inflasi pada masa mendatang terutama jika Tiongkok melakukan tindakan balasan, menurut analisis Bloomberg Economics.
Pemangkasan Pajak
Pada masa jabatan pertama Trump, ia menyebut kenaikan harga saham sebagai tolok ukur dalam Pilpres, yang menunjukkan Trump memiliki semua insentif untuk menjaga pasar bullish tetap berjalan. Namun pada saat yang sama, valuasi berada pada rekor tertinggi pada hari pemilu, meningkatkan peluang pemotongan pajak untuk meningkatkan ekuitas.
Dalam kampanye, Trump berjanji memotong tarif pajak perusahaan federal dari 21% menjadi 15%, yang akan mengerek pendapatan perusahaan S&P 500 sekitar 4%, menurut prediksi Strategist Goldman Sachs Group Inc., yang dilansir September lalu.
Namun, keuntungan itu kemungkinan besar akan diimbangi oleh biaya pinjaman yang lebih tinggi akibat membengkaknya defisit anggaran, menurut Seema Shah, Head of Global Strategist di Principal Asset Management, dilansir dari Bloomberg.
“Dengan penilaian ekuitas yang sudah begitu ketat dan perekonomian akan sedikit melambat, kenaikan imbal hasil lebih lanjut, setelah kemenangan Trump, pada akhirnya dapat menantang sentimen pasar,” katanya.
Defisit Fiskal
Rencana kebijakan Trump kala memerintah nanti, berpotensi mengerek defisit pemerintah AS sebesar US$7,75 triliun selama satu dekade, menurut perkiraan Committee for a Responsible Federal Budget, lembaga pengawas fiskal non-partisan. Jumlah tersebut lebih dari empat kali lipat jumlah defisit saat ini.
Bagi Chris Grisanti, kepala strategi pasar di MAI Capital Management, kemenangan Trump akan menyebabkan lebih banyak defisit dan ketakutan terhadap inflasi, meskipun selama korporasi Amerika mampu bertahan, Trump akan mengambil risiko.
“Saya akan mengambil suku bunga yang lebih tinggi, yang secara umum berdampak buruk bagi perekonomian, jika hal tersebut menghasilkan pendapatan perusahaan yang lebih tinggi karena perekonomian lebih kuat,” katanya. “Pasar mencerminkan keyakinan bahwa 'animal spirit' akan dilepaskan pada masa kepresidenan Trump.”
Arah Bunga Acuan
Dengan berbagai rencana kebijakan Trump yang potensial mengerek lagi inflasi, prospek bunga acuan ke depan diperkirakan akan lebih lambat penurunannya. Pada saat yang sama, pendekatan pemerintahan baru terhadap The Fed juga merupakan hal yang tidak bisa dihindarkan dan mempunyai implikasi besar bagi pasar.
Trump berulang kali menyuarakan keraguannya terhadap kebijakan dan kepemimpinan The Fed. Dalam sebuah wawancara bulan lalu, dia menghindari pertanyaan apakah dia akan berusaha memecat Jerome Powell, Gubernur The Fed, namun dia mengatakan bahwa wajar jika seorang presiden memberi tahu kepala bank sentral bagaimana menurutnya suku bunga harus diubah.
Imigran dan Inflasi
Hampir 1,7 juta imigran tidak berdokumen bekerja di rantai pasokan makanan, menurut laporan tahun 2021 dari Center for American Progress, dilansir dari Bloomberg.
Laporan tersebut menyebutkan hampir 300.000 orang bekerja di bidang pertanian dan pertanian; 206.000 dalam produksi pangan seperti rumah potong hewan dan toko roti komersial; 154,000 di toko kelontong dan toko serba ada; dan 833.000 di restoran.
Saat ini, inflasi pangan di AS telah menurun signifikan. Namun, dengan rencana pengetatan kebijakan imigrasi oleh pemerintahan baru, dengan asumsi 1,7 juta tenaga kerja imigran tidak berdokumen itu digiring pulang, ada potensi inflasi makanan di AS.
Lembaga pemeringkat global, Moody's, sebelum Pilpres AS dihelat, mengeluarkan prediksi, dengan berbagai rencana kebijakan di bawah Trump, inflasi AS bisa kembali merangkak naik ke kisaran 3% tahun depan, yang dipicu oleh tarif yang lebih tinggi dan keluarnya tenaga kerja migran.
"Jika negara-negara yang menjadi sasaran melakukan tindakan balasan dan perang dagang pun terjadi, AS akan menghadapi “goncangan stagflasi yang moderat,” kata Ekonom Wells Fargo, Jay Bryson.
(rui/aji)