Risiko Gempa dan Masalah Konstruksi
Bloomberg sebelumnya melaporkan Freeport-McMoRan menghadapi penyelidikan oleh SEC atas kegagalan dalam mengambil langkah-langkah mitigasi atas risiko gempa bumi yang dihadapi smelter katoda tembaga baru Freeport Indonesia di Manyar, mengutip orang-orang yang mengetahui masalah tersebut.
Penyelidikan dimulai setelah seorang insinyur senior dari Freeport-McMoRan mengajukan pengaduan whistleblower kepada SEC dengan menuduh raksasa emas dan tembaga itu mengabaikan saran dari para ahli insinyur dan mengandalkan desain rekayasa yang cacat untuk smelter katoda tembaga di Manyar yang tidak memenuhi standar Indonesia untuk bangunan tahan gempa.
Insinyur yang tidak disebutkan namanya itu juga menuduh bahwa smelter katoda tembaga Manyar dapat runtuh ke laut selama gempa hebat, mengingat kompleks Java Integrated Industrial and Ports Estate (JIIPE) di Gresik berada di tanah pantai reklamasi di zona "berisiko tinggi".
Freeport-McMoRan telah membantah pengaduan whistleblower tersebut, dengan menyatakan proyek smelter katoda tembaga Manyar telah ditinjau secara ekstensif oleh para ahli, dan rekayasa serta konstruksinya sepenuhnya sesuai dengan standar gempa Indonesia.
SEC belum menjatuhkan tuduhan resmi bahwa Freeport-McMoRan melakukan kesalahan. Penyelidikan oleh SEC pun dapat berakhir tanpa adanya kasus yang diajukan dan dapat memakan waktu berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun, untuk diselesaikan.
“Kami tidak terlalu khawatir pada saat ini mengingat keaslian klaim tersebut belum diverifikasi, tetapi yakin kekhawatiran investor atas risiko operasional dan bencana alam yang dihadapi oleh smelter Manyar mungkin muncul,” tulis CreditSights.
Untuk diketahui, smelter katoda tembaga di Manyar tersebut telah mengalami sejumlah masalah operasional selama beberapa bulan terakhir, termasuk kebocoran air dan uap selama uji coba, serta kebakaran yang baru-baru ini terjadi yang telah menunda jadwal dimulainya produksi dan peningkatan kapasitas pabrik peleburan hingga paling cepat pada kuartal II-2025, dari sebelumnya pada kuartal IV-2024.
Skenario Terburuk
Menurut CreditSights, skenario terburuk pada masa depan—yaitu gempa bumi dahsyat di Manyar — akan sangat melumpuhkan operasi smelter tembaga Freeport Indonesia, perolehan laba dari penjualan tembaga olahan dengan margin lebih tinggi, ketidakmampuan untuk memenuhi mandat Pemerintah Indonesia untuk memproduksi logam hilir bernilai tambah di dalam negeri, dan hilangnya aset utama yang dibangun dengan biaya US$3,7 miliar.
“Sebelumnya, kami telah menyoroti pandangan kami bahwa risiko aset tunggal merupakan risiko terbesar bagi Freeport Indonesia, mengingat ketergantungan perusahaan pada tambang Grasberg dan smelter Manyar untuk perolehan labanya. SEC dapat mengenakan sanksi finansial atas pelanggaran aturan pengungkapan (diperkirakan sekitar US$4 juta—US$7 juta), meskipun ini akan ditanggung oleh Freeport-McMoRan dan bukan Freeport Indonesia," papar tim analis CreditSights.
Laporan itu juga melihat risiko dukungan strategis oleh Pemerintah Indonesia melalui BUMN holding pertambangan PT Mineral Industri Indonesia (MIND ID) dan perpanjangan konsesi pertambangan setelah 2041 dapat terpengaruh, jika terjadi kerusakan besar akibat gempa bumi pada pabrik peleburan Manyar karena desain struktural yang buruk dari pihak Freeport-McMoRan atau Freeport Indonesia.
Sekadar catatatan, perpanjangan izin usaha pertambangan khusus (IUPK) Freeport Indonesia dari 2031 hingga 2041 bergantung pada keberhasilan penyelesaian smelter tembaga Manyar, di antara kondisi lainnya.
Tidak jelas kriteria apa yang harus dipenuhi Freeport Indonesia untuk memperpanjang konsesinya setelah 2041, meskipun kerusakan parah di smelter katoda tembaga Manyar kemungkinan akan menghambat upaya perpanjangan tersebut.
“Kami tegaskan bahwa ini hanyalah situasi hipotesis, dan pada saat ini, Pemerintah Indonesia tetap mendukung PTFI mengingat skala operasinya yang besar, dividen besar yang dibayarkan kepada MIND ID milik negara, dan kontribusinya terhadap ekonomi Indonesia,” tulis laporan tersebut.
Bloomberg Technoz sudah berupaya menghubungi Freeport Indonesia untuk meminta tanggapan atas laporan tersebut, tetapi belum mendapatkan jawaban hingga berita ini diturunkan.
(wdh)