Keadaan kahar tersebut menyebabkan proses penghiliran tembaga melalui investasi fasilitas pemulihan konsentrat (smelter) tidak berjalan sesuai rencana, sehingga pelaku industri belum siap untuk menyetop ekspor konsentratnya per medio tahun ini.
Menyitir laporan PTFI, per kuratal I/2023, perusahaan mengucurkan belanja modal atau capital expenditure (capex) sekira US$0,3 miliar untuk pembangunan smelter di Manyar, Gresik, Jawa Timur dan fasilitas pemurnian logam mulia (PMR).
Adapun, total investasi PTFI untuk proyek smelter Manyar ditaksir mencapai US$3 miliar, dengan target beroperasi pada 2024. Fasilitas pemurnian tersebut digadang-gadang sebagai smelter tembaga terbesar dunia dengan kapasitas 1,7 juta ton konsentrat per tahun untuk menghasilkan 600 ribu ton katoda per tahun.
Menurut catatan Kementerian ESDM, hingga saat ini konstruksi smelter PTFI baru sekitar 60% dengan progres investasi 62,5% atau sekira US$1,5 miliar.
Perpanjangan izin ekspor konsentrat tembaga kepada PTFI tersebut selaras dengan perkiraan DPR. Anggota Komisi VII DPR RI Mulyanto sebelumnya pesimistis pemerintah akan setia pada komitmen melarang ekspor konsentrat bijih tembaga sesuai tenggat tengah tahun ini.
Dia menyebut pemerintah kemungkinan besar akan mengeluarkan kebijakan untuk merevisi UU No. 3/2020 tentang Perubahan Atas UU No. 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara, jelang jatuh tempo pelaksanaan.
Kebijakan tersebut diambil oleh pemerintah di bawah pernyataan yang dikeluarkan oleh PTFI beberapa waktu lalu. Selain risiko pemutusan hubungan kerja (PHK) 60% pekerja, anak usaha dari Freeport-McMoRan Copper & Gold Inc. itu menyebut pemerintah akan kehilangan penerimaan negara dengan nilai cukup besar dari pelarangan ekspor konsentrat bijih tembaga.
Sebagai catatan, berdasarkan data PTFI, selama 2022 penerimaan negara dari perusahaan tersebut meliputi pajak, dividen, dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) mencapai US$3,32 miliar. Sementara itu, pada 2023, penerimaan negara anak usaha Freeport-McMoRan Copper & Gold Inc. itu diproyeksi mencapai US$3,37 miliar.
"Pengusaha-pengusaha tambang sudah paham dengan kelemahan ini. Makanya, mereka berani mengeluarkan sikap yang melawan undang-undang. Baik dalam bentuk pernyataan yang menakut-nakuti atau pendekatan-pendekatan birokrasi lainnya," katanya, Selasa (11/4/2023).
Lebih lanjut, menurut Mulyanto, tidaklah mengejutkan jika dispensasi tersebut nantinya benar terjadi. Terlebih, lanjutnya, pemerintah selama ini seperti 'dikendalikan' oleh PTFI dalam hal kebijakan ekspor konsentrat bijih tembaga.
Dia mengatakan dasar hukum pelarangan ekspor konsentrat tembaga sebelumnya, yakni UU Minerba, sudah dilanggar berkali-kali oleh Freeport. Pelanggaran tersebut tentunya didukung oleh sikap pemerintah yang jauh dari kata tegas dalam menegakkan aturan yang dibuatnya.
Pembangunan smelter seharusnya sudah dilakukan sejak 1997, tetapi tidak kunjung terlaksana hingga akhirnya terbit UU No. 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara.
PTFI kemudian diberikan waktu selama lima tahun setelah diterbitkannya UU tersebut atau sampai dengan 2014 untuk membangun smelter. Namun, sampai dengan tenggat tersebut, perusahaan tidak kunjung merealisasikannya.
Pembangunan smelter baru terealisasi setelah pemerintah menjadikannya syarat perpanjangan izin usaha pertambangan khusus (IUPK) hingga 2041. Smelter tersebut diprediksi baru akan rampung pada Desember 2023 atau tujuh bulan setelah pelarangan ekspor konsentrat bijih tembaga dimulai pada Juni 2023.
Sebelumnya, PTFI menerima kuota ekspor konsentrat sebanyak 2,3 juta ton pada Februari, naik dari jatah tahun lalu sebanyak 2 juta ton. Namun, pemerintah memberi tenggat hingga Juni 2023 bagi PTFI untuk merealisasikan alokasi ekspornya.
Dalam pemberitaan di berbagai media massa, Presiden Direktur PTFI Tony Wenas menyatakan keberatan dengan tenggat ketat tersebut lantaran kapasitas produksi konsentrat yang dimiliki hanya mencapai 200.000 ton.
Dia bahkan mengeklaim moratorium yang diberlakukan pada Juni akan berdampak pada PHK sekitar 60% karyawan PTFI, menyerupai kejadian pada 2017 di mana perusahaan tidak boleh melakukan aktivitas ekspor konsentrat.
(wdh)