Logo Bloomberg Technoz

Inflasi dan Isu Sosial

Terpisah, ekonom sekaligus Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira mengatakan peralihan menjadi BLT perlu memperhatikan fakta bahwa tidak semua pengguna BBM subsidi masuk kategori miskin.

Terdapat juga kelas menengah atau kelompok yang tidak miskin tetapi belum mencapai keamanan ekonomi seutuhnya (aspiring middle class) yang jumlahnya mencapai 137,5 juta orang atau hampir 50% populasi, serta masih terbantu dengan adanya BBM bersubsidi khususnya Pertalite.

Bila BLT diberikan sebagai pengganti BBM subsidi dan hanya dialokasikan kepada masyarakat miskin, maka kelas menengah berada pada posisi rentan untuk jatuh miskin yang dikhawatirkan juga bakal menciptakan pelemahan daya beli yang cukup signifikan.

"Skenario harga Pertalite dilepas ke pasar karena akan diganti dengan BLT pasti timbul inflasi. Angka inflasinya bisa naik karena yang pakai BBM subsidi faktanya juga pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah [UMKM]. Perlu dikaji implikasi ke naiknya beban biaya operasional pelaku usaha kecil dan mikro. Jika tidak hati-hati, khawatir konsumsi rumah tangga bisa tumbuh di bawah 4% secara tahunan atau year on year [yoy] pada tahun depan," ujarnya.

Sekadar catatan, PT Pertamina (Persero) melalui Pertamina Patra Niaga mencatat jumlah kendaraan roda empat yang terdaftar melalui QR Code dan berhak mengonsumsi BBM bersubsidi mencapai 7,3 juta nomor polisi per Senin (4/11/2024). 

Dengan demikian, Bhima menilai sebaiknya BLT yang diberikan juga perlu menyasar kelas menengah. Selain itu, Bhima menilai harga Pertalite bisa disesuaikan secara bertahap sembari menunggu penyaluran BLT.

"Ada risiko BLT baru dibagikan sebagian kemudian Pertalite harganya naik tinggi, itu bahaya buat daya beli. Perluasan BLT ke pengguna BBM subsidi yang sebagian adalah masyarakat kelas menengah mendesak dilakukan," ujarnya. 

Petugas mengisi BBM jenis Pertalite di SPBU Pertamina Rest Area Tol Tangerang-Jakarta KM 14, Senin (1/4/2024). (Bloomberg Technoz/Andrean Kristianto)

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia menjelaskan masih melakukan kajian secara mendalam ihwal skema subsidi energi, seperti BBM, liquefied petroleum gas (LPG), dan listrik.

Bahlil mengatakan penyaluran subsidi energi dari sistem kuota menjadi berbasis BLT menjadi salah satu opsi yang dibahas dan bakal lebih mengerucut ke skema tersebut. Namun, Bahlil membuka peluang masih ada subsidi yang diberikan dengaan berbasis pada komoditas.

"Jadi subsidi tetap ada, cuma ada yang berbentuk cash dan ada yang berbentuk barang," ujar Bahlil dalam konferensi pers di kantornya pada Senin (4/11/2024).

Ketika ditanya apakah harga Pertalite bakal dilepas mengikuti harga pasar, Bahlil tidak mengonfirmasi dengan gamblang dan mengatakan tengah melakukan pengkajian terhadap semua opsi yang ada.

"Kita lagi mengkaji opsinya semuanya ya, nanti kalau sudah dapat opsinya, baru kita umumkan, karena ini kita harus hati-hati," ujarnya.

Menurutnya, hal ini didasarkan pada pertimbangan berupa inflasi, lapangan pekerjaan, dan pertumbuhan ekonomi.

2 Skenario

Sebelumnya, Penasihat Khusus Presiden Urusan Energi Purnomo Yusgiantoro mengatakan setidaknya terdapat 2 skema pilihan penyaluran subsidi energi yang bakal ditawarkan pada pemerintahan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka.

“Ada 2 pilihan, selalu saya katakan kalau itu pilihan ujung-ujungnya keputusan politik, political decision antara legislatif dan eksekutif,” ujar Purnomo saat ditemui usai agenda Tinjauan Kebijakan Mendukung Transisi Energi dan Target Pertumbuhan Ekonomi Pemerintahan Baru, di Jakarta Pusat Pusat, Selasa (22/10/2024).

Pertama, subsidi langsung atau BLT. Purnomo mengatakan, bila pemerintah pada akhirnya memutuskan untuk memberikan subsidi energi berbasis BLT, maka harga harus naik bertahap sampai mencapai keekonomian atau harga pasar.

Kemudian, tambahan pendapatan—yang didapatkan karena mengembalikan komoditas energi ke harga pasar — bakal kembali diberikan kepada masyarakat dengan cara BLT atau cash transfer.

Purnomo menggarisbawahi hal ini sudah diterapkan pada 2000-an, saat dirinya menjabat sebagai Menteri ESDM. Saat itu, pemerintah memutuskan untuk mengembalikan harga sebagian komoditas energi seperti minyak diesel, minyak bakar, avtur dan avgas mengikuti harga pasar.

Sebagai gantinya, pemerintah mengembalikan uang yang seharusnya dipakai untuk subsidi 4 komoditas itu menjadi BLT kepada masyarakat. Walhasil, saat itu komoditas energi yang mendapatkan subsidi harga berkurang dari 7 menjadi 3, yakni; minyak tanah, bensin premium dan minyak solar.

“Waktu itu [harga BBM bersubsidi] kita naikkan, ribut, kantor ESDM itu didemo. Aftur, avgas, fuel, dan diesel kita naikan ke harga pasar, tetapi uangnya kita kembalikan ke rakyat dalam bentuk cash transfer dan BLT, berhasil waktu itu. Sekarang kita tiga, sekarang sudah jadi Pertalite, B35, dan LPG 3 Kg,” ujarnya.

Dalam paparannya, Purnomo menjelaskan perubahan kebijakan subsidi harga menjadi subsidi langsung dilakukan bertahap dengan memperhatikan kemampuan fiskal, daya beli masyarakat kurang mampu dan kondisi sosial politik.

Kedua, subsidi harga. Adapun, skema ini bakal melanjutkan kebijakan saat ini, tetapi dilakukan tepat sasaran dengan sistem kuota.

(dov/wdh)

No more pages