Sebaliknya, Harris dinilainya akan condong melanjutkan kebijakan pendahulunya, Joe Biden, dalam hal prioritas pertumbuhan industri perang.
Dukungan Partai Demokrat untuk mengintervensi gejolak geopolitik di belahan dunia lainnya menunjukkan bahwa AS di bawah Harris kemungkinan bakal tetap fokus di industri pertahanan dan alat perang, sebagai industri utamanya.
Hal tersebut, sambung Rizal, juga bisa menggerakkan perekonomian dan penyerapan tenaga kerja di Negeri Paman Sam.
“Tentu saja hal ini akan berdampak positif kepada perdagangan mineral strategis dan kritis yang sangat diperlukan untuk mengembangkan industri strategisnya, termasuk peralatan pertahanan dan alat perang,” kata Rizal.
Peluang Nikel
Menurutnya, beberapa mineral kritis yang dihasilkan Indonesia juga bisa bertumbuh positif karena permintaan dari AS. Tidak terkecuali, perdagangan komoditas nikel yang dihasilkan Indonesia juga berpeluang tumbuh positif.
“Namun, karena investasi di bidang pengolahan nikel di Indonesia banyak didominasi oleh perusahaan dari China, tentu Indonesia juga tidak memiliki kontrol terhadap komoditas tersebut. Peran China akan lebih dominan, dalam hal ini, karena mayoritas produk antara yang dihasilkan kebanyakan diekspor ke China,” terangnya.
Untuk itu, dia menilai negosiasi antara Pemerintah Indonesia dengan Presiden AS yang baru nantinya harus dilanjutkan, khususnya di sektor pertambangan mineral kritis dalam kerangka Critical Mineral Agreement (CMA).
“Tentu harus dilanjutkan untuk memberikan dampak positif dan keuntungan kepada kedua belah pihak, baik Indonesia dan AS tentunya. Indonesia memerlukan pasar untuk komoditas tersebut, dan AS memerlukan bahan baku untuk industri strategisnya.”
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) sebelumnya memastikan kerja sama sektor pertambangan mineral kritis antara Indonesia dengan AS dalam kerangka CMA masih berlanjut.
Sekadar catatan, rencana kerja untuk CMA bakal membuat Indonesia menjadi pemasok kebutuhan baterai kendaraan listrik atau electric vehicle (EV) di AS dalam jangka panjang, yang disepakati oleh Presiden Joko Widodo dan Presiden AS Joe Biden pada akhir tahun lalu.
Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik dan Kerja Sama (KLIK) Kementerian ESDM Agus Cahyono Adi mengatakan rencana kerja untuk CMA itu merupakan urusan yang panjang dan membutuhkan kolaborasi dari beberapa negara untuk menciptakan rantai pasok (supply chain).
“Untuk jadi baterai, tidak ada yang semua mineralnya ada di satu negara, itu pasti butuh kolaborasi beberapa negara, jadi lebih ke bagaimana kolaborasi supply chain,” ujar Agus saat ditemui di kantornya, medio Juli.
Selain itu, pembahasan terkait dengan CMA, yang merupakan perjanjian komprehensif, juga bersifat kompleks dan tidak terbatas hanya pada satu isu.
Nantinya, kata Agus, bakal terdapat kerja sama bilateral dan regional dalam lanskap CMA tersebut, sehingga bakal melibatkan banyak negara dan tidak hanya terbatas pada Indonesia dan AS.
(wdh)