Sebelumnya, Bahlil menggarisbawahi konsumsi LPG Indonesia per tahun mencapai 8 juta ton, sedangkan kapasitas industri dalam negeri hanya 1,7 juta ton.
Hal tersebut yang menyebabkan Indonesia harus merogoh kocek triliunan rupiah untuk mengimpor 6 juta—7 juta ton LPG per tahunnya.
Dengan demikian, sebanyak 1,8 juta potensi C3C4 tersebut bakal dimaksimalkan untuk membangun industri LPG ke depan dengan harga yang kompetitif. Dengan demikian, kapasitas produksi LPG Indonesia bakal bertambah dari 1,7 juta ton menjadi 3,5 juta ton dan mengurangi volume impor.
Bahlil menilai produksi LPG Indonesia yang sedikit selama ini dipicu oleh harga yang tidak kompetitif, meskipun potensi bahan bakunya mencukupi di dalam negeri.
Menurut Bahlil, harga di Indonesia berada di bawah faktor penentu harga LPG dunia seperti harga acuan Saudi Aramco Contract Price atau CP Aramco, serta biaya transportasi.
“Saya dapat informasi harganya tidak kompetitif, karena harga yang diambil dalam negeri berbeda dengan harga Aramco. Jauh lebih mahal harga Aramco ketimbang harga dalam negeri. Itu yang kemudian [menyebabkan] industri kita tidak bisa lakukan [memacu produksi LPG],” ujar Bahlil ditemui di agenda Malam Penghargaan Keselamatan Migas, Senin (7/10/2024).
(dov/wdh)