"Kami akan cek terlebih dahulu," ujar Humas PN Jaksel, Djuyamto saat dikonfirmasi.
Dalam latar belakang pengajuan praperadilan, Kuasa Hukum Tom Lembong menilai penetapan Tom tidak sah dan penahanannya melanggar prosedur hukum.
“Tidak sahnya penetapan pemohon sebagai tersangka, pemohon tidak diberi kesempatan menunjuk penasihat hukum (PH),” kata Ari Yusuf Amir, Kuasa Hukum Tom Lembong dalam pernyataannya kepada wartawan.
Ari juga menilai penahanan yang dilakukan terhadap Tom Lembong oleh Kejagung tidak memenuhi dasar hukum.
Penetapan Thomas Trikasih Lembong sebagai tersangka, lanjutnya, tidak didasarkan pada bukti awal yang cukup, khususnya persyaratan minimal dua alat bukti sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Tim kuasa hukum berpendapat bahwa alat bukti yang diajukan Jaksa Agung tidak memenuhi kriteria yang ditetapkan, sehingga penetapan tersangka tersebut cacat hukum.
Kuasa Hukum juga berpendapat bahwa penyidikan yang dilakukan oleh Kejaksaan Agung bersifat sewenang-wenang dan tidak mengikuti prosedur hukum yang berlaku. Selain itu, tidak ada hasil audit yang menunjukkan kerugian negara yang sebenarnya terjadi akibat perbuatan Tom Lembong.
"Penahanan klien kami dianggap melawan hukum karena tidak memenuhi kriteria objektif dan subjektif penahanan. Tidak cukup alasan untuk membenarkan kekhawatiran bahwa klien akan melarikan diri atau menghilangkan barang bukti," tutupnya.
Kejaksaan Agung (Kejagung) resmi menetapkan mantan Menteri Perdagangan Thomas Trikasih Lembong atau akrab disapa Tom Lembong sebagai tersangka.
Adapun kasus yang menjeratnya yakni penyalahgunaan wewenang impor gula.
"Menetapkan status saksi terhadap dua orang menjadi tersangka karena telah memenuhi alat bukti. Adapun yang bersangkutan adalah TTL sebagai mantan Menteri Perdagangan. Kedua atas nama DS selaku Direktur pengembangan bisnis pada PT PPI," kata Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus Abdul Qohar, Selasa (29/10/2024).
Kejagung melihat potensi kerugian negara dalam kasus ini mencapai Rp 400 miliar. Lebih jauh dijelaskan juga terdapat dugaan ‘kerja sama’ terkait impor dan penjualan gula oleh perusahaan-perusahaan yang mendapat izin dari Kemendag saat itu.
(ain)