Dalam konteks Indonesia, perekonomian domestik terjebak pertumbuhan rerata tak sampai 5% dalam 10 tahun terakhir akibat ketiadaan sumber pertumbuhan ekonomi baru dan makin bergantung pada faktor musiman.
"Perkembangan terkini perekonomian Indonesia mengindikasikan kemunculan fenomena stagnasi sekuler," kata Teuku Riefky, Ekonom dari LPEM Universitas Indonesia dalam kajian yang dilansir Senin malam.
Tidak ada sumber pertumbuhan ekonomi baru, Indonesia melajutkan tren pertumbuhan hanya di 5% sejak 2014 kecuali saat pandemi Covid-19. Fenomena itu mengindikasikan tren yang cukup mengkhawatirkan karena memperlihatkan kerapuhan perekonomian domestik yang tak mampu tumbuh 5% tanpa faktor musiman, menurut kajian tersebut.
Indikasi stagnasi sekuler terlihat cukup mencolok dari sisi performa sektoral. Pada kuartal II-2024, 11 dari 17 sektor ekonomi mengalami perlambatan pertumbuhan dibandingkan dengan kuartal sebelumnya.
Di sisi lain, pelemahan sektor manufaktur dengan pertumbuhan di bawah rerata nasional secara persisten, kian mengonfirmasi terjadinya deindustrialisasi prematur di Indonesia.
Di sektor lain seperti sektor Konstruksi, Penyaluran Air dan Pengolahan Limbah, Jasa Usaha, Real Estate, dan aktivitas sosial juga kemungkinan dipengaruhi oleh perlambatan pertumbuhan belanja pemerintah secara drastis. "Itu semakin menunjukkan lemahnya kemampuan sektor swasta dalam memacu pertumbuhan ekonomi," kata tim ekonom LPEM UI.
Kinerja manufaktur yang melempem pada akhirnya menyeret pula daya beli masyarakat. Belanja masyarakat pada barang-barang tahan lama terindikasi lesu. Sementara belanja di sektor lain seperti yang terkait restoran, rekreasi juga sektor pendidikan, lebih karena faktor musiman seperti liburan juga tahun ajaran baru.
Deflasi dalam lima bulan beruntun membunyikan alarm tentang pelemahan daya beli, meski pemerintah menilai hal itu lebih banyak karena faktor penawaran (supply side).
Ekonom menilai Bank Indonesia perlu berhati-hati terhadap potensi pelemahan permintaan. "Meski penurunan bunga telah diterapkan bulan September, BI masih perlu fokus pada upaya mendorong permintaan agregat jika tren inflasi saat ini terus berlanjut. Kompleksitas tekanan inflasi jadi sorotan pada kondisi saat ini sehingga pemantauan ketat dan tindakan kebijakan yang tepat sangat diperlukan," kata ekonom.
Pada Oktober, deflasi terhenti dan inflasi domestik tercatat di level terendah sejak 2021 lalu kala perekonomian terbekap pandemi.
Para ekonom menilai, tanpa adanya transformasi struktural dalam waktu dekat, besar kemungkinan perekonomian Indonesia akan terus mengandalkan faktor musiman untuk tumbuh dan berpotensi butuh dorongan lebih besar hanya untuk tetap bisa tumbuh 5%.
Di samping isu domestik, berbagai faktor eksternal juga berpotensi memiliki dampak terhadap perekonomian Indonesia. Berlanjutnya tensi geopolitik, masuknya era pelonggaran suku bunga moneter, dan rekonfigurasi agenda ekonomi berbagai negara pasca berlangsungnya Pemilihan Umum (Pemilu) di berbagai belahan dunia, stimulus masif oleh pemerintah Tiongkok, dan potensi disrupsi rantai nilai global kemungkinan akan memberikan dampak terhadap potensi pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun mendatang.
"Dengan mempertimbangkan berbagai faktor tersebut, PDB Indonesia diestimasi akan tumbuh sebesar 4,96% year-on-year pada kuartal III-2024,dengan rentang estimasi dari 4,94% hingga 4.98%, karena masih adaa pelemahan daya beli dan tidak ada faktor musiman yang mendorong pertumbuhan," kata Riefky.
Untuk keseluruhan tahun ini, LPEM UI memperkirakan ekonomi RI hanya tumbuh 5,03% dari rentang estimasi 5% hingga 5,05%.
"Bahkan jika Pemerintah Indonesia mengambil langkah drastis dengan menerapkan transformasi struktural yang berarti, dampaknya kemungkinan baru akan termaterialisasi dalam jangka menengah hingga panjang dan mungkin tidak memiliki peningkatan yang signifikan dalam angka pertumbuhan ekonomi tahun 2025. Dengan demikian, kami memperkirakan PDB Indonesia akan tumbuh stagnan sebesar 5,1% pada 2025 nanti," jelas Riefky.
(rui/aji)