Sahat –yang juga Plt. Ketua Umum Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI)– mengeklaim pemerintah tidak melibatkan peran dan rekomendasi dari pelaku industri dalam membuat rangkaian kebijakan tersebut.
“Kalau ambil keputusan, ya mbok dibicarakan dengan asosiasi ataupun pengusaha. Ini tidak. Tidak ada [diskusi dengan pelaku industri], diputuskan sepihak dan disampaikan kepada media [publik]. Jadi, kami juga enggak paham maunya mereka [Kemendag] itu apa sebetulnya,” tegasnya.
Lebih lanjut, produsen minyak goreng menilai utak-atik kebijakan DMO sejatinya tidak lagi dibutuhkan, menimbang realisasi distribusi minyak goreng dengan skema DMO sebesar 450 ribu ton/bulan selama Februari—April 2023 terbukti gagal mencapai target.
Per Maret, misalnya, penjualan minyak goreng hanya mencapai 348 ribu ton –menurut catatan GIMNI– atau jauh di bawah target 450 ribu ton. Tidak hanya itu, mayoritas minyak goreng yang terserap oleh konsumen bukan jenis kemasan premium, melainkan Minyakita dan migor curah.
“Artinya masyarakat malah berpindah ke minyak goreng rakyat, padahal ditargetkan 450 ribu ton. Nah, realisasi DMO pada April juga meleset, malah makin turun dari Maret. Perkiraan kami April itu hanya 333 ribu ton. Jadi apa sebetulnya yang di-ego-kan pemerintah [dengan mempertahankan kebijakan DMO minyak goreng]?”
Menurut laporan Kemendag, realisasi kebijakan DMO untuk distribusi minyak goreng di dalam negeri pada April, atau menjelang periode libur Lebaran 2023, hanya mencapai 55% dari target sebanyak 450 ribu ton.
Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan Isy Karim mengatakan per bulan ini, realisasi DMO minyak goreng baru sekitar 217.625 ton.
“Memang karena ini terpotong oleh libur Idulfitri, produsen [minyak goreng] libur mendistribusikan stok DMO-nya,” kata Isy, Kamis (27/4/2023).
Tidak Ada Gejolak
Pada perkembangan lain, Sahat berpendapat saat ini pasar dalam negeri sudah tidak lagi menghadapi gejolak kelangkaan stok minyak goreng seperti tahun lalu. Hal itu disebutnya bukan dipicu oleh keberhasilan program DMO pemerintah, tetapi mekanisme pasar akibat harga CPO sedang melembam.
Tren penurunan harga CPO tersebut berbanding lurus dengan turunnya minat produsen minyak sawit untuk mengekspor ke luar negeri. Walhasil, pasok bahan baku untuk minyak goreng secara otomatis teramankan dan anomali harga di tingkat konsumen pun tidak seganas tahun lalu saat harga CPO dunia melambung ke level tertinggi.
“Harga migor curah yang tadinya rata-rata Rp12.300 pada awal April, persis dekat Lebaran turun menjadi hanya Rp11.700. Singkatnya, di pasar tidak ada gejolak tentang [stok] minyak goreng. Bukan karena regulasi DMO atau rasio ekspor, tetapi karena memang harga CPO global sedang turun,” jelasnya.
Mempertimbangkan faktor-faktor tersebut, Sahat menyarankan pemerintah mengevaluasi urgensi DMO minyak goreng.
“Apa efektivitasnya? Menurut saya, itu sama saja menembak lalat dengan meriam. Saran saya, sudah disetop saja pola-pola DMO dan lain-lain itu. Enggak benar, kurang tepat. Alangkah baiknya kita switch dengan pola bantuan langsung, kita berikan subsidi. Lainnya kita lepas sesuai dengan mekanisme pasar. Jadi enggak ribet. Dan juga pertimbangan lainnya adalah pasar global itu lesu. Jadi rasio 1:4 itu enggak ada efeknya,” tegas Sahat.
Senada, Guru Besar Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB) Dwi Andreas Santosa mengatakan permasalahan anomali harga minyak goreng di Indonesia tidak sesederhana menyangkut persoalan pemenuhan pasok bahan baku minyak sawit mentah atau CPO.
Menurutnya, harga minyak goreng di dalam negeri juga dipengaruhi oleh pergerakan nilai CPO di tingkat internasional. Dengan demikian, ketika Indonesia sudah mengintegrasikan diri ke sistem pangan dunia –khususnya untuk produk berbasis minyak sawit– mau tidak mau, harga komoditas turunan CPO di dalam negeri juga akan tersentil sentimen harga internasional.
“Lalu, pemerintah mengambil kebijakan DMO untuk menjaga harga di dalam negeri. Sekarang ini harga minyak sawit drop, terus gimana? Ya ngapain juga ada DMO. Ini batal saja [kebijakan] DMO-nya diturunin jadi 300 ribu ton,” tegasnya.
Dia mengelaborasi harga CPO saat ini sudah terpangkas 50% dari level tertingginya tahun lalu. Bahkan, masih ada kemungkinan komoditas tersebut akan terus drop hingga akhir tahun ini, dipicu oleh sentimen Uni Eropa yang meloloskan UU antideforestasi, kebijakan India untuk melindungi petani kedelai dan bunga matahari, serta anomali harga minyak dunia.
“Kalau harga minyak bumi turun, pasti harga CPO dunia turun juga. Jadi kalau sekarang harga [minyak goreng] terkendali dengan sendirinya, itu karena mekanisme pasar, bukan karena kebijakan,” jelas Dwi.
Tren penurunan harga CPO pada kuartal I/2023 memang terbukti menekan nilai ekspor komoditas andalan Indonesia tersebut selama Maret. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat sepanjang triwulan pertama tahun ini, nilai ekspor CPO mengalami penurunan tahunan 11,34% menjadi US$5,92 miliar dari US$6,67 miliar pada periode yang sama tahun lalu. Artinya, terjadi penurunan ekspor sejumlah US$750 juta.
Di sisi lain, mengutip data Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS), rerata harga nasional minyak goreng curah per Jumat (28/4/2023) pagi adalah Rp15.150/kg, masih naik Rp400 dari hari sebelumnya. Adapun, minyak goreng kemasan bermerek 1 mencapai Rp20.800/kg atau naik Rp450 dari sehari sebelumnya dan minyak goreng kemasan bermerek 2 senilai Rp18.850/kg atau turun tipis Rp100 secara harian.
(wdh)