Sejauh ini, hasilnya masih belum memenuhi harapan karena perempuan hanya menduduki 15 persen kursi parlemen Jepang.
Data dari kantor PBB urusan perempuan, angka itu ditingkat pemerintah daerah hanya 14 persen.
"Pemerintahan daerah adalah arena untuk menerapkan demokrasi," kata Emiri Yamagishi, gurubesar politik daerah di Ohtsuki City College.
"Mendorong kaum perempuan untuk lebih terlibat dalam politik akan membuat badan-badan pembuat keputusan lebih Pada akhirnya, hal ini bagus tidak hanya untuk kaum perempuan tapi juga untuk semua orang."
Tidak ada penyebab khusus sejumlah pemda berhasil memilih kandidat perempuan sementara pemda lain tidak.
Ebetsu adalah komunitas kecil dibandingkan dengan Sapporo yang lebih luas dengan kualitas sebagai kota yang lebih besar dan lebih liberal, tetapi memberi akses lebih besar untuk masuk ke panggung politik.
Yamaghishi mengatakan bahwa dua partai politik terbesar di kota itu, Partai Komunis Jepang dan Partai Komeito, mencalonkan banyak kandidat perempuan; bahkan sebelum pemilu paling akhir tujuh dari 12 anggota dewan kota berasal dari kedua partai itu.
Ebetsu juga diuntungkan dengan sejarah peran perempuan di panggung politik. Kota itu kali pertama memilih perempuan sebagai anggota dewan pada 1975, dan sejak itu selalu ada perempuan yang menang pemilu untuk menduduki kursi dewan kota.
Mika Inomata, seorang ibu dari anak berusia 11 tahun, pertama kali maju sebagai kandidat dewan kota Ebetsu pada 2019 dan kembali terpilih bulan ini.
Niat awalnya turun ke panggung politik adalah untuk memastikan suara generasi yang membesarkan anak seperti dirinya bisa terwakili di politik.
Inomata mengatakan sebagai ibu dia sangat sejalan dengan keluhan para orang tua di kota Ebetsu yang tidak bisa menempatkan kakak beradik di fasilitas penitipan anak sehingga menimbulkan masalah bagi orang tua yang bekerja.
"Kota ini memutuskan agar kakak beradik bisa berada di tempat penitipan yang sama mulai tahun fiskal sekarang," katanya.
Inomata menjadi inspirasi bagi Risa Takayanagi, yang berhasil terpilih untuk kali pertama dalam pemilu bulan ini. Dia menggambarkan dirinya sebagai "ibu rumah tangga biasa dengan satu anak," dan karena pengalaman mengalami kesulitan di sekolah, dia berniat mendirikan "sekolah alternatif gratis" di komunitas.
Takayanagi meminta bantuan keluarga dan teman untuk berkampanye, membagikan dan menempel poster. Dengan mengenakan jaket tebal berwarna oranye dan topi baret hitam dia berkeliling kota di akhir masa kampanye. Saat itu dia berhenti di beberapa pemukiman untuk berpidato dan berjabat tangan dengan pemilih serta membagikan visi dan misinya.
Dia mengatakan dibalik kesuksesannya itu adalah peran penting dari mertua untuk menjaga putrinya sepulang sekolah agar dia bisa berkampanye.
"Jika anak saya berusia lebih muda atau jika saya tidak mendapat dukungan dari keluarga suami, saya akan lebih kesulitan," ujarna.
Riset memperlihatkan bahwa menjaga anak - dan struktur dukungan sosial lain - menjadi faktor penting jika Jepang ingin memenuhi tujuan agar lebih banyak perempuan terjun ke dunia politik.
"Masalah perempuan ragu untuk terjun ke dunia politik ternyata karena peran dalam keluarga yang dibuat secara sosial," tulis laporan akademis soal alasan keterwakilan perempuan di panggung politk kecil yang terbit tahun 2018.
Laporan yang ditulis oleh tiga orang akaedmisi menyatakan bahwa biaya penitipan anak yang lebih murah dan tersedia luas bisa mendorong keterlibatan perempuan di politik, namun di sisi lain ekspektasi sosial terhadap perempuan pun harus berubah.
Penelitian ini mendorong agar ada sistem kuota yang dirancang untuk meningkatkan jumlah perempuan di parlemen.
Langkah di Korea Selatan yang baru-baru ini diambil memperlihatkan usul itu bisa diterapkan. Pada tahun 2000, parlemen negara itu mewajibkan seluruh partai besar mengalokasikan setengah dari jumlah kandidat kepada kaum perempuan. Data Bank Dunia menunjukan bahwa sekarang perempuan menduduki 19 persen dari kursi parlemen nasional, naik dari 6 persen pada tahun 2000.
Di Ebetsu, Jepang, warga mengatakan mendapat manfaat dari keberadaan perempuan di pemeirntah.
Hiromi Sasaki, perawat berusia 62 tahun, mengatakan jumlah perempuan di dewan kota yang lebih banyak pada akhirnya akan menguntungkan keluarga di kota itu.
Sementara Kozo Sawaguchi, 87 tahun, mengatakan bahwa meski mengubah perbandingan perempuan dan lelaki di parlemen nasional penting, di tingkat daerah "kita harus memadukan lebih dalam lagi kekuatan yang dimiliki oleh perempuan.
"Sangat bodoh jika berpikiran bahwa politik hanya untuk kaum lelaki," ujarnya.
(bbn)