Logo Bloomberg Technoz

“Lalu, pemerintah mengambil kebijakan DMO untuk menjaga harga di dalam negeri. Sekarang ini harga minyak sawit drop, terus gimana? Ya ngapain juga ada DMO. Ini batal saja [kebijakan] DMO-nya diturunin jadi 300 ribu ton,” tegasnya.

Dia mengelaborasi harga CPO saat ini sudah terpangkas 50% dari level tertingginya tahun lalu. Bahkan, masih ada kemungkinan komoditas tersebut akan terus drop hingga akhir tahun ini, dipicu oleh sentimen Uni Eropa yang meloloskan UU antideforestasi, kebijakan India untuk melindungi petani kedelai dan bunga matahari, serta anomali harga minyak dunia.

“Kalau harga minyak bumi turun, pasti harga CPO dunia turun juga. Jadi kalau sekarang harga [minyak goreng] terkendali dengan sendirinya, itu karena mekanisme pasar, bukan karena kebijakan,” jelas Dwi. 

Koreksi Harga CPO Sepanjang 2023 Mencapai Double Digit (Bloomberg)


Tren penurunan harga CPO pada kuartal I/2023 memang terbukti menekan nilai ekspor komoditas andalan Indonesia tersebut selama Maret. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat sepanjang triwulan pertama tahun ini, nilai ekspor CPO mengalami penurunan tahunan 11,34% menjadi US$5,92 miliar dari US$6,67 miliar pada periode yang sama tahun lalu. Artinya, terjadi penurunan ekspor sejumlah US$750 juta.

Di sisi lain, mengutip data Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS), rerata harga nasional minyak goreng curah per Jumat (28/4/2023) pagi adalah Rp15.150/kg, masih naik Rp400 dari hari sebelumnya. Adapun, minyak goreng kemasan bermerek 1 mencapai Rp20.800/kg atau naik Rp450 dari sehari sebelumnya dan minyak goreng kemasan bermerek 2 senilai Rp18.850/kg atau turun tipis Rp100 secara harian.  

Bantuan Langsung Jadi Solusi

Dwi, yang juga Ketua Umum Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI), berpendapat bentuk intervensi harga minyak goreng yang lebih tepat dilakukan oleh pemerintah adalah dengan menanggung selisih harga minyak goreng saat terjadi kenaikan harga CPO di tingkat dunia. 

“Dengan kata lain, disubsidi oleh pemerintah. Itu pernah dilakukan, tetapi gagal karena sampai sekarang enggak dibayar itu selisih harganya ke pelaku industri. Jadi kan nanggung kebijakannya. Kalau mau mengintegrasikan sistem pangan ke internasional ya risikonya memang harga di Indonesia akan tinggi. Nah harga Indonesia akan tinggi itu disikapi dengan apa? Ya dengan BLT [bantuan langsung tunai] sebagai jaring pengaman sosial. Atau, kalau langsung ke produknya bisa juga kan, dengan cara buat subsidi selisih harganya,” urai Dwi.

Ilustrasi minyak goreng (Dimas Ardian/Bloomberg)


Dalam konteks tersebut, dia merekomendasikan dua metode yang dapat ditempuh atau diperkuat untuk mengendalikan harga minyak goreng di dalam negeri.

Pertama, menggunakan instrumen jaring pengaman sosial, sebagaimana yang sudah dilakukan pemerintah. “Sehingga masyarakat yang terdampak diberikan uang tunai agar kapasitas daya beli mereka meningkat walaupun harga produknya [juga] meningkat.

Kedua, dengan cara menanggung selisih harga yang terbentuk, dari harga yang diinginkan pemerintah dengan harga minyak sawit dunia.

“Jadi dua cara itu yang bisa dilakukan oleh pemerintah. Bukan dengan cara memaksa produsen [melalui DMO atau moratorium ekspor]. Kalau memaksa produsen, seperti pernah terjadi, yang kemudian tidak boleh ekspor minyak sawit pas harga lagi tinggi-tingginya, ya produsennya rugi, tetapi yang paling sangat dirugikan ya petani kecil. Bagaimana bisa waktu itu harga tandan sawit tinggal Rp350 di beberapa tempat, di bawah Rp500. Hancurlah petani, dia tidak bisa beli pupuk dan sebagainya. Nah, ketika moratorium dibuka kembali, harga sawit sudah jatuh,” terang Dwi. 

Pengiriman minyak kelapa sawit di pabrik minyak goroeng kawasan Marunda, Jakarta. Fotografer Dimas Ardian/Bloomberg

Eksportir Tidak Terpengaruh

Pada perkembangan lain, pelaku industri minyak kelapa sawit menilai rasio baru volume ekspor CPO dan produk turunannya yang ditetapkan oleh Kementerian Perdagangan sudah cukup adil bagi keseimbangan pasar minyak goreng di dalam negeri.

Per 1 Mei 2023, izin volume ekspor CPO dan produk turunannya kembali diturunkan dari enam kali lipat terhadap jumlah yang dijual perusahaan minyak sawit di dalam negeri  (1:6), menjadi empat kali lipat (1:4).

Menanggapi kebijakan tersebut, Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Fadhil Hasan mengatakan penurunan rasio tersebut mau tidak mau memang akan menekan kinerja ekspor minyak sawit dan derivatifnya.

“Sekarang ini kan [rasionya] 1:4, jadi 25% [produksi CPO] harus digunakan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri dahulu, kemudian sisanya baru untuk ekspor. Akan tetapi, kan jumlahnya dari 300 ribu ton [wajib pasok minyak goreng melalui skema DMO] itu. Kalau menurut saya, enggak terlalu banyak dampaknya juga terhadap eksportir maupun produsen CPO,” ujarnya saat dihubungi Bloomberg Technoz, Kamis (27/4/2023).

Kepala Badan Kebijakan Perdagangan Kementerian Perdagangan Kasan Muhri menjelaskan penurunan pengalihfungsian eskpor per Mei tidak dimaksudkan untuk memperketat pengapalan CPO dan produk turunannya. 

“Dilakukan semata-mata rasio pengalihan diturunkan. Ekspor yg didepositokan kan sekitar 3,027 juta ton. Nanti mulai per 1 Mei akan dicairkan, sehingga rata-rata [ekspor CPO] perbulannya 336 ribu ton. [Stok deposito] yang belum direalisasikan sekitar 6 juta ton,” jelas Kasan dalam konferensi pers, Kamis (27/4/2023). 

Salah satu produk turunan minyak kelapa sawit. (Dok. Bloomberg)

Dia meyakini perubahan kebiijakan rasio ekspor CPO dan produk turunannya tersebut tidak akan menjadi hambatan bagi industri kelapa sawit di dalam negeri. Terlebih, tujuan utama kebijakan tersebut adalah untuk memastikan pasok bahan baku minyak goreng di pasar domestik.

Selain menurunkan rasio ekspor CPO dan turunannya, Kemendag hari ini juga mengumumkan keputusan untuk kembali melonggarkan kebijakan DMO untuk distribusi minyak goreng rakyat setelah periode Idulfitri 1444 H usai.

Dalam kaitan itu, otoritas perdagangan memutuskan kebijakan DMO akan dikurangi dari 450 ribu ton per bulan kembali menjadi 300 ribu ton per bulan, berlaku mulai 1 Mei 2023.

Sebelumnya, pelaku industri kelapa sawit sempat mengeklaim sejak pemerintah menerapkan DMO, produsen minyak kelapa sawit menanggung selisih biaya produksi dengan harga eceran tertinggi (HET) minyak goreng senilai Rp14.000/liter yang ditetapkan pemerintah. 

Adapun, sebagian keuntungan yang diperoleh dari ekspor digunakan untuk menanggung selisih tersebut.

"Produsen menombok dengan margin [keuntungan] ekspor. Namun, saat ini permintaan ekspor sedang menurun dan harga minyak kelapa sawit ini turun. Kalau masih ada bea keluar dan pungutan ekspor, kami mau untung dari mana?" kata Plt. Ketua Umum Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI) Sahat Sinaga, awal Februari.

(wdh)

No more pages