Shinta pun mengusulkan langkah-langkah tambahan untuk mendorong sektor manufaktur dan memperkuat daya beli masyarakat.
Dalam kaitan itu, dia menekankan perlunya penciptaan lapangan kerja di sektor formal untuk meningkatkan daya beli domestik—terutama di kalangan kelas menengah — serta mendorong ekspor produk manufaktur Indonesia.
“Namun, ini perlu waktu untuk mereformasi output industri-industri manufaktur terkait. Meskipun demikian, seluruh hal ini perlu dilakukan untuk membalikkan tren PMI manufaktur yang ada. Kalau hanya mengandalkan status quo, dalam konteks ekonomi global dan nasional yang ada saat ini, akan sangat sulit bagi Indonesia untuk memiliki kinerja sektor manufaktur yang baik atau ekspansif,” pungkasnya.
Perbaikan Pasar
Shina menambahkan kalangan pengusaha saat ini hanya berharap kondisi pasar segera membaik, dalam 1—2 bulan ke depan, agar kinerja bisnis dapat kembali berjalan optimal.
“Pasar perlu setidaknya momentum konsumsi yang baik atau stimulus konsumsi. Kemungkinan peningkatan hanya akan terjadi pada bulan ini atau Desember karena pengaruh momentum konsumsi akhir tahun,” kata Shinta.
“Namun, potensi kenaikan ini pun perlu melihat data lain seperti data ketenagakerjaan. Kalau data ketenagakerjaan, khususnya pekerjaan di sektor formal, tidak cukup stabil atau meningkat, kemungkinan PMI manufaktur akan tetap sluggish [melambat] karena penurunan daya beli pasar yang persisten,” sambungnya.
Untuk diketahui, aktivitas manufaktur Indonesia mengalami kontraksi selama 4 bulan beruntun, tecermin dari data Purchasing Managers’ Index (PMI) yang dilansir S&P Global akhir pekan lalu.
Menurut laporan S&P, PMI manufaktur di Tanah Air berada di 49,2 untuk periode Oktober, stagnan dari bulan sebelumnya. PMI di bawah 50 mencerminkan aktivitas yang berada di zona kontraksi, tidak ekspansi.
Dengan demikian, aktivitas manufaktur Indonesia sudah berada di zona itu sejak Juli dan belum mampu bangkit.
Daya beli konsumen, lanjut laporan S&P Global, juga dilaporkan menurun oleh dunia usaha. Hal ini terjadi baik di pasar domestik maupun ekspor. Pasar ekspor juga menurun dan mengalami koreksi selama 8 bulan beruntun.
Penurunan iklim usaha membuat perusahaan-perusahaan memangkas pegawai di pabrik mereka, dan menjadi yang ketiga selama 4 bulan terakhir. Beban kerja masih sama, dan malah terjadi penumpukan barang jadi karena lesunya permintaan. Ini sudah terjadi selama 4 bulan beruntun.
Pembelian bahan baku pun kembali menurun, menjadi 4 bulan beruntun. Hal ini selaras dengan tren penurunan pemesanan baru dan produksi seiring permintaan yang lemah.
Dunia usaha memandang situasi ke depan masih positif, dengan harapan situasi pasar akan kembali stabil. Namun, keyakinan ini turun ke level terendah dalam 4 bulan dan lebih rendah dari tingkat historisnya.
“Sektor manufaktur Indonesia melanjutkan performa yang menurun pada Oktober, dengan produksi, pemesanan baru, dan penciptaan lapangan kerja yang berkurang. Responden menyebut, dalam beberapa kasus, hal ini terkait dengan ketidakpastian geopolitik," papar Paul Smith, Economics Director di S&P Global Market Intelligence, dalam siaran pers awal bulan ini.
“Sebagai cerminan dari pasar yang melambat, inflasi pun melambat dan sekarang di bawah level historisnya. Dunia usaha berharap kondisi akan membaik pada tahun depan seiring dengan lingkungan ekonomi yang lebih stabil,” lanjut Smith.
(prc/wdh)