Dalam Pasal 15A dijelaskan bahwa perusahaan yang mendapatkan insentif pembebasan pajak ini dan masuk kedalam kategori wajib pajak tertentu yang dikenakan pajak minimum global, maka akan dikenakan pajak tambahan minimum domestik sesuai aturan yang berlaku.
“Pengenaan pajak tambahan minimum domestik sebagaimana dimaksud pada ayat 1 diberlakukan termasuk terhadap Wajib Pajak yang telah memperoleh keputusan pemanfaatan fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan sebelum berlakunya Peraturan Menteri Keuangan ini,” bunyi ayat 2 Pasal 15A.
Sebagai informasi, tarif pajak efektif sebesar 15% yang merupakan peraturan dari pajak minimum global merupakan pilar 2 Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) yang ditetapkan untuk membatasi persaingan pajak dengan tarif minimum itu.
Peraturan ini muncul akibat terdapat banyak perusahaan multinasional yang menaruh keuntungannya di negara-negara dengan tarif pajak yang lebih rendah dari negara perusahaan tersebut berbisnis.
Mengutip laman resmi Kemenkeu, Pilar Dua ini terdiri atas dua rencana kebijakan, yaitu Global anti-Base Erosion Rules (GloBE) dan Subject to Tax Rule (STTR). Rencana tersebut ditujukan untuk perusahaan multinasional dengan batasan peredaran bruto diatas EUR750 juta.
Sebelumnya, Kemenkeu menyatakan Global Minimum Tax (GMT) atau tarif pajak minimum global sebesar 15% mulai diimplementasi tahun ini. Mayoritas negara mulai menerapkannya pada 2025, termasuk Indonesia.
“Makanya semua negara mulai tahun 2024 dan mayoritas pada 2025 akan mengimplementasikan minimum tax itu tadi, termasuk Indonesia. Jadi kita sedang siapkan regulasinya,” tutur Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu Febrio Kacaribu saat ditemui di kantor pusat Kemenkeu, Jumat (4/10/2024).
Febrio menyatakan skema tax holiday pada tahun mendatang dapat disesuaikan kembali. Dengan tarif Pajak Pajak Penghasilan (PPh) badan sebesar 22%, maka tax holiday yang ditawarkan dikurangi menjadi hanya sekitar 7%.
“Jadi dengan demikian kalau untuk konteks Indonesia berarti kalau PPh Badan kita adalah 22% maka tax holiday-nya maksimum sampai 15%. Jadi kita bisa berikan 7%. 22% dikurang 15%,” jelasnya.
“Nah berarti untuk insentif yang selama ini sudah dinikmati, kita akan pikirkan untuk alternatifnya. Jadi bentuk insentif seperti apa yang akan kurang lebih bisa mengkompensasi yang 15%-nya,” lanjut Febrio.
(azr/dhf)