Dalam kondisi Covid-19, Kepala BNPB kemudian memerintahkan TNI mengambil APB dari stok PPM di Kawasan Berikat untuk dikirimkan ke 10 provinsi. Saat itu, pengambilan dan distribusi tak dilengkapi dokumentasi, bukti pendukung, dan surat pemesanan.
Pada 22 Maret 2020, Shin dan Satrio kemudian membuat kontrak kesepakatan authorizef seller APD sebanyak 500.000 set dengan nilai satuan tergantung nilai tukar dollar saat pemesanan. Satu hari kemudian PPM dan EKI membuat kontrak kerja sama distribusi APD yang isinya memberikan margin 18,5% kepada PPM.
Pada 24 Maret 2020, KPA BNPB Harmensyah melakukan negosiasi dengan Satrio untuk mendapatkan harga APD dari US$60 menjadi US$50 per set. Meski melalui negosiasi, akan tetapi nilainya tak memperhitungkan kesepakatan PPM dengan kemenkes sebelumnya yang hanya Rp370.000 per set.
Akhirnya, BNPB tercatat memesan 170.000 set APD yang didistribusikan TNI dengan harga US$50 atau sekitar Rp700.000 per set.
Satrio pun meminta pembayaran terhadap APD tersebut dengan meminta serta SPK dari BNPB agar sesuai dengan pengamanan raw material dari Korea. Pembayaran pertama sebesar Rp10 Milyar dilakukan pada 27 Maret 2020 dari Bendahara BNPB kepada Rekening BNI milik PPM. Padahal, saat itu belum ada kontrak atau pun surat pesanan.
Pembayaran kedua sebesar Rp109 Miliar dilakukan pada 28 Maret 2020 dari PPK Puskris Kemenkes ke rekening PPM yang sama. Pada hari yang sama Budi Sylvana baru diangkat menjadi PPK di Puskris Kemenkes, namun surat pengangkatan tersebut dibuat backdate pada 27 Maret 2020 -- atau sebelum pembayaran ke PPM.
Budi kemudian menerbitkan Surat Pesanan 5 juta set APD dari Kementerian Kesehatan kepada PPM dan EKI. Namun, surat tersebut tidak terdapat spesifikasi pekerjaan, waktu pelaksanaan pekerjaan, pembayaran, serta hak dan kewajiban para pihak secara terperinci.
Pada tanggal 15 April 2020, Kementerian Kesehatan memberikan Surat Pemberitahuan kepada PPM tentang telah diterimanya pengirimkan 790.000 set APD. PPM kemudian kembali mengirimkan 503.500 set APD namun dengan harga Rp366.850 per set pada 27 April-7Mei 2023.
Setelah itu, kembali dilakukan negosiasi sehingga APD yang dikirimkan usai 7 Mei 2020 memiliki harga hanya Rp294.000 per set. Hingga 18 Mei 2020, Kemenkes tercatat sudah menerima 3.140.200 set APB dari PPM dan EKI.
"Atas pengadaan tersebut, Audit BPKP menyatakan telah mengakibatkan kerugian keuangan negara sebesar Rp319 Milyar," kata Ghufron.
Para tersangka pun dijerat dengan Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab UndangUndang Hukum Pidana.
"PT EKI dan PT YS terlibat dalam mata rantai pengadaan APD tanpa memiliki Izin," kata Ghufron.
Menurut dia, penyaluran tersebut berlawanan dengan ketentuan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1191/Menkes/Per/VIII/2010, bahwa Penyalur Alat Kesehatan wajib memiliki IPAK yang diatur Kemenkes;
Selain itu, KPK menilai kerja sama antara PT PPM, PT EKI, PT YS dan para produsen APD merupakan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Hal tersebut berlawanan dengan Pasal 4 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999, yang melarang pengusaha secara bersama-sama melakukan penguasaan produksi dan pemasaran sehingga terbentuk monopoli.
" PT EKI ditetapkan sebagai penyedia APD, padahal tidak mempunyai pengalaman untuk mengadakan APD sebelumnya," kata Ghufron.
(fik/frg)