"Siswa yang nantinya akan kesulitan beradaptasi dengan dunia kerja 4.0, masyarakat 5.0. UN itu standardised test, cocok untuk industri 2.0 dimana produk yang dihasilkan harus standard,"kata Ina.
"Sedangkan itu sekarang dilakukan oleh robot. Padahal sesuatu yang inovatif itu justru sesuatu yangg tidak standard kan? Project-based learning di kurmer sudah mengarah kesana: fokus cari solusi," tambah Ina.
Disinggung mengenai apakah nanti bila ada UN lagi juga turut berdampak bagi siswa jenjang Sekolah Menengah Atas (SMA), Ina pun mengatakan masalah tersebut sudah memiliki masing-masing standard sendiri.
"Luar negeri pun kan beda negara beda persyaratan. Dalam satu negara yang sama, satu universitas dengan yang lain belum tentu sama juga standard syarat masuknya. Jadi keputusan perlu tidaknya UN tidak perlu mengikuti syarat masuk PT di luar negeri. Mau mengikuti negara mana, universitas mana?,"terang Ina.
Dalam kesempatan yang sama, Pengamat Pendidikan, Doni Koesoema juga menilai isu soal Ujian Nasional (UN) yang direncanakan akan diadakan lagi.
Apabila hal ini terjadi, Doni menilai bahwa setiap proses pendidikan itu memerlukan evaluasi atau ujian, ujian ini bertujuan untuk menilai sejauh mana seseorang itu belajar.
"Nah di dalam undang-undang sistem pendidikan nasional kita pemerintah itu wajib mengukur ke delapan standard nasional pendidikan termasuk salah satunya adalah standard isi, standard isi berarti materi di dalam kurikulum,"kata Doni.
"Nah, ujian nasional selama ini memotret sejauh mana anak-anak mempelajari materi, di dalam kurikulum. Kalau ini tidak ada, artinya pemerintah melanggar amanah, didalam UUD disdiknas," tambah Doni.
Doni juga menilai sisi positif dan negatif yang didapatkan siswa sekolah jika Ujian Nasional (UN) diberlakukan kembali.
"Sisi positifnya masyarakat atau orang tua akhirnya memiliki sarana kriteria objektif untuk mengukur seberapa jauh anaknya belajar di sekolah, kalau tidak ada ujian yang sifatnya terstandarisasi yang berlaku secara nasional menguji kemampuan setiap individu pada jenjang tertentu pada mata pelajaran atau standard isi tertentu,"kata Doni.
"Maka yang kita tidak tahu sebenarnya anak kita belajar atau tidak, karena selama ini nilai rapor itu banyak dimanipulasi," tambah Doni.
Untuk dampak negatifnya, menurut Doni tergantung dari uji standard dari pelaksanaan Ujian Nasional (UN) tersebut. Apakah akan sesuai dengan prinsip-prinsip uji terstandar sehingga tidak melampui tujuannya.
"Jadi tergantung dari konstruknya kalau konstruknya hanya hafalan memori saja maka yang kemudian dampak negatifnya adalah pendidikan kita akan diredusir kembali pada proses hafalan dengan adanya ujian nasional yang sifatnya hanya hafalan," urai Doni.
Di sisi lain, Doni juga menilai dampak Ujian Nasional (UN) diadakan kembali terhadap Siswa Menengah Atas (SMA) yang memiliki niat untuk berkuliah di luar negeri.
"Anak-anak yang kuliah di luar negeri itu selama ini di nilai berdasarkan ujian nasional ya karena apa, kalau ujian nasional itu kan lebih objektif ya meskipun tidak menjadi otomatis sebagai syarat untuk sekolah di luar negeri," terang Doni.
"Karena bisa jadi kurikulum di indonesia standar isinya beda dengan apa yang ditentukan di universitas tertentu, tetapi dengan adanya ujian nasional minimal kampus-kampus di luar negeri itu punya kriteria standard untuk secara objektif menilai hasil anak-anak indonesia daripada enggak ada sama sekali," tambahnya.
Menurut Doni, jadi kemungkinan besar hasil dari ujian yang sifatnya tersandarisasi yang dilakukan secara nasional ini berpeluang bisa diterima di negara-negara lain.
"Jadi setiap negara bisa mempergunakan ini untuk sesuai dengan misi dari universitas tersebut," tandasnya.
Sebelumnya, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengklaim akan kembali memberlakukan Ujian Nasional (UN) bagi Sekolah Menengah Atas (SMA/SMK) untuk pemetaan dalam pendidikan tahap selanjutnya.
“Sebenarnya UN itu juga mungkin kita harus pertimbangkan apakah menjadi penentu kelulusan, atau UN sebagai data dan informasi bagaimana peta kondisi,” kata Ketua Komisi X DPR RI Hetifah Sjaifudian di Kompleks Parlemen Senayan, Selasa (29/10/2024).
Hetifah mengatakan bahwa pemberlakuan kembali UN tidak ditujukan sebagai syarat dari kelulusan para siswa SMA/SMK, melainkan hanya sebagai data pemetaan minat dan keahlian bagi para siswa.
“Nanti ini menjadi kajian bagaimana kalau UN diterangkan fungsinya apa dan bagaimana isinya, apa yang di tesnya dan pemanfaatannya untuk apa. Apakah untuk kelulusan atau untuk data pemetaan. Jadi, jangan takut,” katanya.
(dec/spt)