Nilai tukar rupiah dibuka melemah dan makin turun nilainya setelah laporan inflasi diumumkan. Di pasar spot, harga dolar AS makin mahal di kisaran Rp15.716/US$ pada pukul 09:53 WIB.
Pelemahan rupiah akan tetapi tidak sendirian. Hampir semua mata uang Asia tergerus lemah terutama karena data inflasi PCE Amerika tadi malam yang dicemaskan mempersempit ruang bagi The Fed, bank sentral AS, memangkas bunga acuan lebih lanjut.
Kala rupiah melemah, tekanan juga terlihat di pasar saham. IHSG yang dibuka stagnan, saat ini masih terjebak di zona merah dengan penurunan 0,7% ke level 7.525.
Akan tetapi, di pasar surat utang RI, harga obligasi masih terpantau stabil.
Yield di sebagian besar tenor SBN bergerak turun sedikit. Imbal hasil SBN-2Y bergerak sedikit turun di 6,49%, lalu tenor 5Y stagnan di 6,69%. Kemudian tenor 10Y juga agak turun di 6,77%.
Reaksi pasar keuangan ketika data inflasi Oktober diumumkan, sejatinya juga banyak dipengaruhi oleh apa yang tengah berkembang di pasar global.
Tadi malam, AS melaporkan data pengeluaran dan pendapatan pribadi berikut inflasi Personal Consumption Expenditure (PCE).
Meski data yang dilansir sebagian besar sesuai prediksi pasar, akan tetapi kenaikan inflasi inti PCE sedikit memantik kekhawatiran bahwa prospek penurunan bunga acuan Federal Reserve bisa lebih lambat.
Manufaktur masih kontraksi
Sebelum data inflasi Oktober dilansir, ada rilis aktivitas manufaktur Indonesia yang menunjukkan masih terjadi kontraksi. Itu menjadi kontraksi selama 4 bulan beruntun.
Pada Jumat (1/11/2024), S&P Global melaporkan aktivitas manufaktur yang diukur dengan Purchasing Managers’ Index (PMI) sektor manufaktur di Tanah Air berada di 49,2 untuk periode Oktober. Sama persis, tidak berubah dibandingkan September.
PMI di bawah 50 mencerminkan aktivitas yang berada di zona kontraksi, tidak ekspansi. Dengan demikian, aktivitas manufaktur Indonesia sudah berada di zona itu sejak Juli dan belum mampu bangkit.
“Produksi, pemesanan baru (new orders), dan perekrutan tenaga kerja melemah tipis seiring dengan pasar yang melemah. Keyakinan terhadap prospek ke depan, walau secara umum masih positif, tetapi turun ke level terendah dalam 4 bulan terakhir,” ungkap laporan S&P Global.
Daya beli konsumen, lanjut laporan S&P Global, dilaporkan menurun oleh dunia usaha, Ini terjadi baik di pasar domestik maupun ekspor. Pasar ekspor sendiri menurun, dan menjadi koreksi selama 8 bulan beruntun.
Penurunan iklim usaha membuat perusahaan-perusahaan memangkas pegawai di pabrik mereka, dan menjadi yang ketiga selama 4 bulan terakhir. Beban kerja masih sama, dan malah terjadi penumpukan barang jadi karena lesunya permintaan. Ini sudah terjadi selama 4 bulan beruntun.
Pembelian bahan baku pun kembali menurun, menjadi 4 bulan beruntun. Ini selaras dengan tren penurunan pemesanan baru dan produksi seiring permintaan yang lemah.
Laporan S&P Global itu selaras dengan hasil Survei Kegiatan Dunia Usaha kuartal III-2024 yang sudah dilansir oleh BI beberapa waktu lalu. Kelesuan masih membebani kinerja dunia usaha yang berdampak pada lemahnya rekrutmen tenaga kerja.
(rui)