Badan Pusat Statistik pada Jumat pagi melaporkan, inflasi Indeks Harga Konsumen (IHK), tercatat sebesar 1,71%, jauh di bawah median target inflasi BI tahun ini di 2,5%.
Inflasi Oktober juga memutus rantai deflasi yang telah berlangsung lima bulan beruntun. Pada bulan lalu, secara bulanan inflasi tercatat sebesar 0,08%, lebih tinggi ketimbang prediksi pasar di 0,03%.
Inflasi Oktober terutama disebabkan oleh kenaikan mayoritas indeks kelompok pengeluaran yang terlihat dari komoditas-komoditas di antaranya adalah bawang merah, daging ayam, telur, minyak goreng, sigaret kretek mesin, hingga emas perhiasan.
Inflasi tertinggi dicatat oleh kelompok perawatan pribadi dan jasa lainnya sebesar 7,06%, lalu kelompok penyediaan makanan dan minuman/restoran sebesar 2,36%, kelompok makanan, minuman dan tembakau hingga 2,35%, lalu inflasi kelompok pendidikan 1,90%.
Sementara inflasi inti, tidak termasuk bahan makanan dan energi, pada bulan lalu tercatat ke level tertinggi dalam lebih setahun terakhir di 2,21%.
Permintaan Lesu
Bila mengacu pada hasil Survei Penjualan Ritel terakhir, ekspektasi inflasi IHK pada November tercatat turun, mencerminkan laju inflasi pada bulan ini mungkin akan kembali turun, bahkan bisa saja kembali terjadi deflasi.
Tekanan harga baru kembali lagi pada Desember ketika libur Natal dan Tahun Baru datang bersamaan dengan musim libur semester ganjil anak sekolah.
Survei memperkirakan inflasi pada Desember meningkat dan selanjutnya kembali landai pada Januari-Februari.
"[Tekanan inflasi yang menurun] pada November 2024 dan Februari 2025 didukung oleh kelancaran distribusi dan ketersediaan barang yang mencukupi," kata Bank Indonesia.
Akhir Februari, bulan Ramadan datang dan kemungkinan akan membawa inflasi bulan Maret-April akan lebih tinggi seiring dengan peningkatan belanja masyarakat di musim perayaan.
Selain itu, tekanan harga juga diperkirakan lebih landai karena permintaan dalam ekonomi cenderung lesu terseret kondisi dunia usaha yang melemah. Indeks PMI manufaktur Indonesia pada Oktober tercatat kontraksi, memperpanjang periode pertumbuhan negatif dalam empat bulan terakhir.
Dunia usaha melaporkan pelemahan daya beli konsumen di pasar domestik maupun ekspor sehingga menyeret penurunan produksi karena angka pemesanan baru juga lesu. Alhasil, rekrutmen tenaga kerja juga melemah.
Pabrik-pabrik juga banyak yang mengurangi jumlah karyawan mereka. Penumpukan barang makin banyak karena kelesuan permintaan yang sudah berlangsung selama empat bulan terakhir.
Namun, situasi itu sepertinya belum akan mendorong BI memberikan pelonggaran moneter agar pertumbuhan ekonomi terstimulasi lagi. Rapat Dewan Gubernur BI pada 19-20 November nanti, kemungkinan besar masih akan menghasilkan keputusan 'tahan' untuk BI rate.
Terkecuali dalam FOMC The Fed pekan depan, akan ada pemangkasan bunga acuan. Juga, bila tren arus modal asing yang masuk ke pasar terus berlanjut. Hanya saja, hal itu sepertinya masih terlalu jauh.
Bila menilik kinerja sejak RDG terakhir digelar sampai hari ini, nilai tukar rupiah sudah melemah 1,4% terutama karena tertekan arus keluar modal asing yang makin besar akibat turbulensi pasar global.
Data yang dikompilasi oleh Bloomberg mencatat, selama kuartal IV-2024 saja capital outflows sudah mencapai US$ 718,8 juta atau sekitar Rp11,3 triliun. Sepekan ini saja, asing mencatat net sell senilai US$ 161,2 juta, sekitar Rp2,53 triliun.
BI juga mulai menaikkan lagi tingkat bunga diskonto Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) ke level 7,04% dalam lelang terakhir hari ini, mengindikasikan arah kebijakan moneter bank sentral masih berat ke arah stabilisasi nilai tukar.
Akan halnya untuk mendorong perekonomian agar tetap terstimulasi, BI sepertinya akan terus menggeber berbagai kebijakan insentif likuiditas bagi penyaluran kredit bank di sektor usaha yang padat karya.
Juga, memberikan insentif berupa penetapan rasio Countercyclical Capital Buffer (CCyB) sebesar 0%. Lalu, menetapkan Rasio Intermediasi Makroprudensial (RIM) di kisaran 84-94%, rasio LTV/FTV kredit atau pembiayaan properti sebesar 100% dan uang muka kredit kendaraan bermotor sebesar 0%, berlaku hingga akhir tahun depan. Kemudian, penetapan Rasio Penyangga Likuiditas Makroprudensial (PLM) sebesar 5% bagi bank konvensional dan 3,5% bagi bank syariah, dengan fleksibilitas repo masing-masing 5% dan 3,5%.
(rui/aji)