Maklum, harga emas sudah naik tinggi. Sepanjang Oktober, harga aset ini sudah naik nyaris 5%. Sepanjang 2024, harga emas melonjak lebih dari 30%.
Oleh karena itu, tentu akan datang saatnya di mana investor akan ‘gatal’ untuk mencarikan cuan. Saat itu terjadi, emas akan mengalami tekanan jual sehingga harga terpangkas.
Selain faktor koreksi teknikal tersebut, rilis data ekonomi di Amerika Serikat (AS) juga kurang suportif bagi harga emas. Malam tadi waktu Indonesia, US Bureau of Economic Analysis merilis data inflasi Personal Consumption Expenditure (PCE). Ini adalah indikator inflasi yang menjadi preferensi bank sentral Federal Reserve.
Pada September, laju inflasi PCE secara bulanan (month-to-month/mtm) adalah 0,2%. Memang sama dengan ekspektasi pasar, tetapi lebih tinggi dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 0,1% mtm.
Sementara inflasi PCE inti (core) berada di 0,3% mtm pada September. Naik dibandingkan Agustus yang sebesar 0,2% mtm dan menjadi yang tertinggi dalam 5 bulan.
Secara tahunan (year-on-year/yoy), laju inflasi PCE pada Oktober tercatat 2,1%. Lebih rendah dibandingkan Agustus yang sebesar 2,3% dan menjadi yang terendah sejak Februari 2021.
Adapun inflasi PCE inti tahunan ada di 2,7% yoy pada September. Sama persis dengan Agustus, tetapi di bawah ekspektasi di mana pasar memperkirakan di 2,6% yoy.
Oleh karena itu, keyakinan pasar terhadap penurunan suku bunga acuan oleh The Fed bulan ini menjadi sedikit memudar. Memang masih tinggi, tetapi agak melandai. Sebab, ternyata inflasi masih ‘bandel’ sehingga bisa jadi The Fed membutuhkan waktu untuk melonggarkan kebijakan moneter.
Mengutip CME FedWatch, peluang penurunan Federal Funds Rate sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 4,5-4,75% pada November adalah 94,2%. Masih sangat tinggi, tetapi lebih rendah ketimbang kemarin yang sebesar 95,2%.
Emas adalah aset yang sensitif terhadap suku bunga. Ini karena emas adalah aset yang tidak memberikan imbal hasil (non-yielding asset). Memegang emas menjadi menguntungkan saat suku bunga rendah, begitu pula sebaliknya.
(aji)