Sebelumnya, Bursa Efek Indonesia (BEI) hanya mencatatkan transaksi perdagangan bursa karbon sebesar Rp37 miliar, setelah selama setahun resmi beroperasi, atau sejak September 2023 lalu.
Nilai tersebut terbilang masih sangat minim atau tak sampai 1% jika dibandingkan dengan target potensi nilai kredit karbon di Indonesia yang bisa mencapai Rp3.000 triliun.
"Saat ini transaksi Bursa Karbon Indonesia telah diperdagangkan dengan nilai lebih dari Rp37 miliar," uja Direktur Utama BEI Iman Rachman disela acara Peringatan Satu Tahun Bursa Karbon di Jakarta, Kamis (3/10/2024).
Total transaksi itu tercatat usai jumlah Sertifikat Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca (SPE-GRK) atau kredit karbon yang diperdagangkan sebesar 613.894 ton CO2 ekuivalen, dengan pengguna jasa sebanyak 81.
Dari 613.894 ton yang diperdagangkan itu, ada lebih dari 420,150 ton unit karbon telah digunakan sebagai offset melalui proses retirement, yang berasal dari 3 proyek SPE-GRK.
Secara terperinci, ketiga proyek itu yakni Lahendong Unit 5 & 6 PT Pertamina Geothermal Energy Tbk, Pembangkit Listrik Baru Berbahan Bakar Gas Bumi PLTGU Blok 3 PJB Muara Karang milik PLN, dan Pembangkit Listrik Tenaga Air Minihidro (PLTM) Gunung Wugul.
"Kalau pun sekarang itu masih cetek, ya tentunya kita mesti sadari ya memang baru satu tahun gitu kan. Tetapi hal-hal lain yang perlu kita perbaiki ya harus kita perbaiki," tutur Inarno.
(ibn/dhf)