Salah satu kontributor beban usaha adalah, beban operasional yang tercatat naik 14% secara tahunan menjadi US$1,29 miliar.
Posisi itu tak mampu terkompensasi meski kerugian kurs turun 44% secara tahunan menjadi US$7,51 juta.
Situasi kian berat, lantaran Garuda Indonesia juga mencatat kenaikan beban keuangan 10,78 secara tahunan menjadi US$374,33 juta.
Alhasil, Garuda Indonesia membukukan kerugian bersih US$131,22 juta atau setara sekitar Rp2,06 triliun. Angka ini membengkak 81,29% dibanding periode yang sama tahun sebelumnya.
Meski membengkak, Garuda Indonesia mencatat pertumbuhan EBITDA yang menguat hingga 11% di periode kinerja sampai dengan Kuartal III-2024 sebesar US$685,81 juta.
Capaian ini sekaligus merefleksikan tingkat EBITDA yang tumbuh secara berkelanjutan pascarestrukturisasi, dimana hingga Kuartal III-2023 Garuda berhasil membukukan EBITDA sebesar US$616,37 juta.
Direktur Utama Garuda Indonesia Irfan Setiaputra mengungkapkan, pertumbuhan dari sisi top line tahun ini merefleksikan angkutan penumpang Garuda Indonesia secara grup di mana capaian angkutan penumpang hingga bulan September 2024 mencapai 17,73 juta penumpang atau menguat 24% (YoY) yang dikontribusikan dari angkutan Garuda Indonesia (mainbrand) sebesar 8,34 juta penumpang meningkat 45% sementara Citilink sebanyak 9,39 juta penumpang, naik 10%.
"Kinerja operasional Garuda Indonesia (mainbrand) turut merefleksikan pertumbuhan signifikan di mana penumpang sebesar 8,34 juta tersebut berasal dari pertumbuhan signifikan dibandingkan dengan periode yang sama di tahun 2023 yakni mencapai 59% untuk angkutan penumpang internasional atau sebesar 1,87 juta penumpang, sementara jumlah penumpang domestik juga naik hingga 41% atau sebesar 6,47 juta penumpang,” jelas Irfan.
(ibn/dhf)