Menurut data realtime Bloomberg pada pukul 11:12 WIB, sebagian besar yield SBN tenor lebih pendek masih menunjukkan kenaikan sedikit. Sebaliknya, yield tenor panjang cenderung stabil.
Yield SBN-2Y sedikit berubah ke 6,52%, lalu tenor 5Y juga agak naik ke 6,70%. Sementara SBN-10Y stabil di 6,82%. Adapun tenor panjang 15Y, yield-nya turun ke 7,02% disusul. oleh tenor 30Y yang juga sedikit turun ke 6,99%.
Tadi malam, AS melaporkan capaian pertumbuhan ekonomi (GDP) kuartal III yang angkanya lebih rendah dibanding prediksi pelaku pasar, yakni 2,8%. Namun, inflasi core PCE pada kuartal tersebut naik ke 2,2% dari prediksi 2,2%.
Data lain seperti konsumsi pribadi pada periode yang sama tumbuh melampaui prediksi pasar, yakni 3,7%. Data itu membuat para investor khawatir bank sentral AS, Federal Reserve, mungkin akan memperlambat laju pemangkasan bunga acuan ke depan.
Terlebih pada saat bersamaan, data ekonomi Eropa juga memperlihatkan GDP Zona Euro juga melampaui ekspektasi.
Pasca data-data tersebut dirilis, yield Treasury naik. Dolar AS juga naik. Namun, indeks dolar AS akhirnya ditutup melemah pada penutupan bursa di New York dini hari tadi, ke 103,99. Pagi ini, indeks dolar AS kembali bergerak sedikit naik ke kisaran 104,13.
Sementara indeks saham di Wall Street tertekan di zona merah saat penutupan pasar, akibat kegugupan yang meningkat jelang Pilpres AS, juga karena yield obligasi AS makin naik.
Namun, ekonom Bloomberg Economics menilai, meski masih kuat, di bawah permukaan menunjukkan belanja konsumen yang menjadi motor utama pertumbuhan AS, mulai lesu, menurut analisis ekonom Bloomberg Economics.
Itu karena belanja kini terbatas didukung oleh rumah tangga kelas atas ketika konsumen dengan pendapatan lebih rendah menjadi lebih sensitif harga. Bloomberg Economics menilai, data ekonomi AS tadi malam masih akan mendukung skenario penurunan bunga acuan Federal Reserve di sisa tahun ini.
Asing berburu SBN
Para investor asing memperpanjang periode pembelian (net buy) di SBN selama enam bulan beruntun sejak Mei, menjadikannya rekor terpanjang sejak 2017 silam.
Data Kementerian Keuangan yang dikompilasi oleh Bloomberg, memperlihatkan, setelah membukukan net sell pada sejak Januari-April, pemodal asing mencatat net buy di SBN berturut-turut saban bulan hingga Oktober ini.
Pada Mei misalnya, asing memborong Rp19,49 triliun SBN. Lalu pada Juni, nilainya turun akan tetapi masih positif di mana nilai net buy SBN hanya Rp1,93 triliun. Naik lagi pada Juli sebesar Rp4,96 triliun.
Pada Agustus, angka pembelian asing di SBN melesat tajam mencapai Rp38,7 triliun, terbesar sejak Januari 2023, terutama didukung oleh sentimen penurunan bunga acuan global ditambah kepastian postur fiskal APBN 2025.
Lalu pada September, angka pembelian asing di SBN mencapai Rp20,36 triliun. Pada Oktober, meski beberapa waktu lalu, asing banyak melepas SBN, secara keseluruhan posisi nonresiden masih net buy di surat utang RI. Sampai pekan yang berakhir 25 Oktober, nilai net buy asing mencapai Rp17,51 triliun.
Surat utang negara terbitan pemerintah Indonesia, India dan Korea Selatan, menjadi incaran utama para pemodal global yang mencari aset dengan imbal hasil cukup tinggi, di tengah kegelisahan yang meningkat dengan makin dekatnya Pilpres AS pada 5 November nanti.
Beberapa pengelola dana global kelas kakap seperti Allianz Global Investors, Franklin Templeton juga Gama Asset Management, menempatkan aset-aset fixed income di negara-negara Asia di luar Tiongkok, sebagai incaran utama saat ini.
Prospek penurunan bunga acuan ke depan di tiga negara itu telah meningkatkan permintaan. Selain itu, bilamana ada gejolak pasar menyusul Pilpres AS, surat utang dari Asia dinilai menjadi tempat parkir dana yang cukup aman alias 'safe haven'.
"Dalam beberapa pekan ke depan, akan ada banyak kebisingan. Jika Anda melihat ke luar AS, ke Asia, mana tempat berlindung yang aman? Yang mudah terlintas dalam pikiran adalah obligasi Indonesia," kata Christy Tan, Investment Strategist di Franklin Templeton, fund manager dengan dana kelolaan lebih dari US$ 1,6 triliun sampai akhir September lalu, dilansir dari Bloomberg News.
Bagi fund manager lokal, SBN juga masih bullish seiring dengan potensi penurunan BI rate ke depan.
"Kami cenderung overweight di SBN tenor pendek-menengah yaitu tenor 5-10 tahun untuk memaksimalkan capital gain dari penurunan suku bunga, sedangkan untuk tenor panjang kami melihat masih ada risiko dari US Treasury yield jangka panjang yang naik akibat meningkatnya potensi reinflasi di Amerika Serikat dan penerbitan US Treasury yang melonjak untuk membiayai defisit fiskal AS," kata Chief Investment Officer Samuel Asset Management Gema K. Darmawan.
Ia memprediksi, yield SBN-10Y hingga akhir tahun ini bisa bergerak ke level 6,6%.
(rui)