Kedua, menciptakan harga yang lebih kompetitif dan bisa bersaing secara global. Veronika mengatakan, setelah pencatatan di LME, Indonesia kembali mendapatkan keluhan dari Australia—yang notabene juga merupakan salah satu produsen utama nikel — karena harga nikel yang rendah.
Nikel katoda CNGR, padahal, merupakan yang pertama mendapatkan harga utuh di LME karena memiliki kadar 99,99%. Namun, harganya tetap lebih murah dibandingkan produksi Australia yang berada dalam level US$20.000 per ton.
“Harga kita jadi sangat kompetitif karena kualitas sedemikian murni, kualitas bagus tetapi harga bagus dibandingkan dengan Australia di harga US$20.000, mau tidak mau tidak ada yang beli,” ujarnya.
“Nah ini memang berdampak juga; salah satu manufaktur di Australia juga tutup, sementara operasional hingga 2026 masih belum ada kepastiannya.”
Sekadar catatan, harga nikel ditutup di US$15.816/ton pada Rabu (30/10/2024) di LME, turun 0,36% dari hari sebelumnya.
LME telah menyetujui pencatatan merek nikel olahan pertama dari Indonesia dengan kode ‘DX-zwdx’. Menyitir situs resmi LME, merek tersebut merupakan nikel asal Morowali, Sulawesi Tengah yang diproduksi oleh PT CNGR Ding Xing New Energy.
Adapun, perusahaan tersebut merupakan patungan antara CNGR Advanced Material asal China dan Rigqueza International Pte asal Indonesia yang memiliki kapasitas produksi 50.000 metrik ton (mt) per tahun.
(dov/wdh)