Faktor domestik masih mendukung penguatan pamor SBN ke depan. Pertama, BI masih berpeluang memangkas bunga acuan menyusul tingkat inflasi yang melandai. "Tinggal menunggu tekanan ke rupiah mereda," kata Head of Fixed Income Research Handy Yunianto.
Kedua, tekanan supply SBN juga sebenarnya rendah karena pemerintah mengoptimalkan Saldo Anggaran Lebih, loan program dan optimalisasi investment financing. Kebijakan fiskal yang hati-hati pada 2025 memperkuat sentimen positif.
Ketiga, permintaan pembelian dari investor domestik dan asing masih cukup solid. "Meskipun asing sudah masuk banyak, akan tetapi level kepemilikan asing masih lebih rendah dari pre-covid level," jelas Handy.
Data Kementerian Keuangan mencatat, investor asing saat ini menguasai sekitar Rp886,3 triliun per 28 Oktober lalu. Angka itu sudah meningkat hampir Rp100 triliun atau sekitar Rp98,01 triliun dibanding posisi ownership terendah oleh asing tahun ini pada awal Mei lalu.
Sementara dibanding kelompok investor lain, porsi penguasaan asing itu masih tak sampai 15% dari total outstanding SBN di pasar sekunder. Bandingkan dengan masa prapandemi di mana asing menguasai sekitar 40% SBN di pasar.
Keempat, secara siklus, bulan November-Desember biasanya positif bagi pasar obligasi domestik.
Sementara tekanan yang berlangsung beberapa waktu lalu diyakini hanya sementara.
Ketidakpastian pasar diharapkan bisa mereda begitu hasil Pilpres AS keluar dan keputusan pertemuan -FOMC- bank sentral AS, Federal Reserve, pada bulan November, melempar sentimen positif.
"Saya masih yakin kenaikan UST [surat utang AS] dan DXY [dolar AS], temporary. AS masih bermasalah dengan defisit fiskal yang tinggi yang tentunya akan sangat terpengaruh jika bunga tetap tinggi," kata Handy.
Bagi analis asing, surat utang terbitan pemerintah RI masih menarik, terlebih bila nilai rupiah terus stabil. "Tingkat imbal hasil riil masih menarik, menambah daya tarik hasil nominal yang lebih tinggi dibanding surat utang negara tetangga," kata Philip McNicholas, Strategist di Robeco Group, Singapura, seperti dilansir oleh Bloomberg News.
Jadi 'Safe Haven'
Para pemodal global berbondong-bondong menaikkan penempatan investasi pada surat utang negara-negara Asia di luar China, di tengah meningkatnya kegelisahan jelang gelar Pemilihan Presiden Amerika Serikat (AS).
Surat utang negara terbitan pemerintah Indonesia, India dan Korea Selatan, menjadi incaran utama para pemodal global yang mencari aset dengan imbal hasil cukup tinggi.
Beberapa pengelola dana global kelas kakap seperti Allianz Global Investors, Franklin Templeton juga Gama Asset Management, menempatkan aset-aset fixed income di negara-negara Asia di luar Tiongkok, sebagai incaran utama saat ini.
Prospek penurunan bunga acuan ke depan di negara-negara tersebut telah meningkatkan permintaan. Selain itu, bilamana ada gejolak pasar menyusul Pilpres AS, surat utang dari Asia dinilai menjadi tempat parkir dana yang cukup aman alias 'safe haven'.
"Dalam beberapa pekan ke depan, akan ada banyak kebisingan. Jika Anda melihat ke luar AS, ke Asia, mana tempat berlindung yang aman? Yang mudah terlintas dalam pikiran adalah obligasi Indonesia," kata Christy Tan, Investment Strategist di Franklin Templeton, fund manager dengan dana kelolaan lebih dari US$ 1,6 triliun sampai akhir September lalu, dilansir dari Bloomberg News.
Indonesia punya kelebihan dari tingkat inflasi yang terkendali, ditambah transisi pemerintahan yang mulus dengan posisi menteri vital tidak ada perubahan.
Prospek penurunan bunga acuan BI rate juga masih terbuka, di tengah perlambatan ekonomi Indonesia yang mengharapkan ada dukungan pelonggaran lebih lanjut.
Pilihan akan obligasi pemerintah Indonesia juga disebutkan oleh Gama Asset Management, perusahaan pengelola aset global yang bermarkas di Jenewa, Swiss.
Obligasi terbitan pemerintah RI, bersama Filipina dan Korea Selatan, yang telah memangkas bunga acuan beberapa waktu lalu, menjadi pilihan terbaik para investor surat utang, kata Chief Investment Officer Gama Asset Management Rajeev De Mello.
(rui/aji)