Kedua, diterbitkannya SPI GM untuk GKP sebanyak 300.000 ton pada Januari 2016 kepada PT PPI (Perusahaan Perdagangan Indonesia). Tugas ke PPI adalah untuk melakukan pemenuhan stok gula konsumsi nasional dan menstabilkan harga.
Dibahas Rakor
Rencana impor gula tersebut, papar Khudori, sebelumnya dibahas di rakor bidang perekonomian di bawah Kemenko Perekonomian.
Tom disalahkan Kejagung karena izin yang dikeluarkan adalah untuk impor gula mentah, sedangkan seharusnya GKP. SPI Kemendag juga diterbitkan tanpa rekomendasi Kementerian Perindustrian, dan yang mengolah GM jadi GKP adalah pabrik gula kristal rafinasi (GKR).
“Saya tidak begitu ingat kondisi pada awal hingga pertengahan 2015. Namun, yang pasti, pada akhir 2015 stok gula [konsumsi] hanya 816.000 ton, yang kemudian menjadi stok awal 2016,” papar Khudori.
Menurutnya, stok tersebut hanya cukup untuk konsumsi selama 3,42 bulan (816 : 238, 238 merupakan pembagian angka konsumsi gula 2015 sebesar 2,863 juta ton dengan 12 bulan) atau hanya cukup dari Januari hingga pertengahan April 2016.
Terlebih, pada Januari—Mei 2016 tidak ada tambahan gula yang signifikan dari produksi domestik, sehingga impor semestinya dieksekusi jauh-jauh hari.
“Persetujuan impor memang dikeluarkan Januari 2016, tetapi berupa izin impor GM untuk diolah jadi GKP. Ini awal ‘kecelakaan’ itu terjadi,” tuturnya.
Belum Musim Giling
Lebih lanjut, Khudori menerangkan, pada saat itu, pabrik gula BUMN yang berbasis tebu dalam kondisi sedang tidak memasuki musim giling.
Mereka baru giling akhir Mei atau awal Juni 2016. Karena tidak giling, penugasan diberikan ke PT PPI, yang juga BUMN. Akan tetapi, PPI bukan BUMN yang bisa bertindak sebagai importir produsen.
“Langkah Tom ini menyalahi aturan. Karena tidak ada pabrik gula BUMN yang giling, PT PPI kemudian bekerja sama dengan pabrik gula rafinasi untuk mengolah GKM jadi GKP. Pabrik gula rafinasi bisa dipastikan bisa beroperasi sepanjang tahun karena bahan baku GKM dari impor. Sepanjang impor terjaga, operasi bisa sepanjang tahun,” ujarnya.
Langkah ini juga dinilai salah oleh Khudori, lantaran pabrik gula rafinasi bukan produsen GKP.
“Pabrik gula rafinasi itu produsen GKR, yang pasarnya untuk industri [makanan, minuman, dan farmasi]. Perlu dijelaskan, di Indonesia pasar gula konsumsi dan pasar gula industri dibedakan alias tersekat. Sepertinya hanya di sini pasar gula disekat seperti ini,” terangnya.
Pabrik gula rafinasi tidak memiliki izin memproses GKP, sehingga gula yang dihasilkan tidak langsung mendapatkan SNI GKP.
“Toh setelah SNI selesai, gula baru bisa disalurkan pada Mei 2016. Selama Januari—April pasokan gula hanya mengandalkan stok akhir 2015. Tambahan produksi belum ada, sementara keputusan distribusi gula sepenuhnya dipegang pedagang. Distribusi bulanan gula selama Januari—April 2016 terus menurun, jauh dari kebutuhan pasar,” tulis Khudori.
Dimanfaatkan Spekulan
Situasi tersebut lantas dimanfaatkan pedagang dengan menahan stok agar harga terkerek naik.
Strategi ini berhasil yang ditandai oleh kenaikan harga gula fantastis di tingkat ritel, yang mencapai puncaknya pada Juli 2016 yaitu Rp16.266/kg. Harga ini jauh di atas harga eceran tertinggi (HET) sebesar Rp13.000/kg.
Menurut Kejaksaan Agung, GKP itu tidak disalurkan dalam bentuk operasi pasar, tetapi oleh perusahaan swasta dijual ke masyarakat melalui distributor dengan harga Rp16.000/kg, lebih tinggi dari HET.
“Diatur seolah-olah PT PPI membeli gula dari pabrik gula rafinasi yang mengolah GKM jadi GKP. Inilah yang mengantarkan CS, Direktur Pengembangan Bisnis PT PPI, menjadi tersangka bersama Tom Lembong. Boleh jadi Tom Lembong tak tahu detail-detail langkah PT PPI ini, selain ngeluarin izin impor,” ujarnya.
“Dugaan saya, Tom Lembong disalahkan karena menunjuk PT PPI yang bukan BUMN produsen gula, yang menurut aturan harus demikian. Langkah itu, saya duga, ditempuh Tom Lembong karena tidak ada pabrik gula BUMN yang tengah giling,” kata Khudori.
Dipilih penugasan tetap ke BUMN meski bukan BUMN produsen gula. Khudori pun mempertanyakan mengapa Tom tidak memberi izin impor GKP, tetapi justru GM untuk diolah jadi GKP.
“Sepanjang yang saya tahu, pabrik gula rafinasi terlibat dalam produksi GKP dari GKM ini bukan kasus satu-satunya,” kata Khudori.
Dalam kondisi terdesak, pabrik gula rafinasi bisa dilibatkan dalam produksi GKP. Secara umum, GM impor yang diolah jadi GKP harganya lebih murah atau lebih rendah dari HET GKP.
Hal ini potensial memberikan keuntungan yang besar dan menggiurkan bagi pihak-pihak yang terlibat dalam impor dan produksi.
Bongkar Kasus Lainnya
Untuk itu, Khudori menilai sebaiknya Kejagung memeriksa semua kasus yang pernah ada, bukan hanya kasus Tom Lembong.
Terlebih, situasi yang mirip akhir 2015 dan awal 2016 terjadi pada akhir 2019. Saat itu, stok gula nasional 1,084 juta ton, hanya cukup 4,2 bulan.
Dari jumlah itu, stok di gudang hanya 0,5 juta ton, sisanya merupakan stok tersembunyi atau hidden stock yang ada di tangan distributor dan pedagang.
Hidden stock terjadi karena "kekacauan" yang dibuat pemerintah dengan menyalahi aturan yang dibuat sendiri, yakni menugaskan impor GKM untuk diolah jadi GKP tidak hanya oleh pabrik gula BUMN, tetapi juga perusahaan lain nonpabrik gula tebu, seperti; kelompok pabrik gula rafinasi, koperasi, dan BUMN yang tidak memiliki pabrik gula.
Walhasil, impor gula tidak termonitor dengan baik karena perusahaan-perusahaan yang mendapat mandat penugasan ini tidak melaporkan perkembangan hasil pengolahan, penyaluran, dan stoknya.
“Akhirnya, seperti awal 2016, pada awal 2020 harga GKP naik tinggi, lebih dari Rp18.000/kg. Distributor dan pedagang yang menguasai stok ‘memainkan’ harga,” jelas Khudori.
Sedikit pelurusan, lanjutnnya, Kejagung menyebut Keputusan Menteri Perdagangan dan Perindustrian 527/2004 tentang Ketentuan Impor Gula yang dilanggar Tom Lembong. Peraturan ini sebenarnya sudah beberapa kali mengalami pergantian.
“Antara lain oleh Peraturan Menteri Perdagangan No. 117/2015 tentang Ketentuan Impor Gula. Terakhir, oleh Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 14/2020 tentang Ketentuan Impor Gula,” papar Khudori.
Meskipun regulasi berubah, sambungnya, substansinya ada yang tak berubah. Pertama, pasar GKR dan GKP tetap terpisah. Kedua, impor hanya bisa dilakukan oleh perusahaan yang mendapatkan pengakuan sebagai importir dari otoritas, yakni BUMN produsen gula yang mengantongi Angka Pengenal Impor Produsen.
Ketiga, impor GKM sebagai bahan baku GKR dan impor GKR oleh perusahaan yang mendapatkan pengakuan sebagai importir hanya bisa digunakan sebagai bahan baku untuk proses produksi dari industri.
“Gula dilarang dipindahtangankan atau diperjualbelikan kepada pihak lain. Sementara yang berubah pada detail-detail,” tegas Khudori.
(red/wdh)