Dalam kaitan itu, otoritas perdagangan memutuskan kebijakan DMO akan dikurangi dari 450 ribu ton per bulan kembali menjadi 300 ribu ton per bulan, berlaku mulai 1 Mei 2023.
Fadhil menilai batasan DMO sebanyak 450 ribu ton yang ditetapkan sebelumnya selama Februari—April untuk mengantisipasi Ramadan dan Idulfitri sebenarnya jauh melebihi kebutuhan pasar.
“[Pada dasarnya kebutuhan bulanan minyak goreng di dalam negeri] ya 300 ribu ton ini, memang sekitar segitu. Lalu mengapa rasio ekspor CPO diturunkan? Ya mungkin selama permintaan dari luar negeri belum pulih, tidak ada dampaknya jika rasio ekspor diperketat. Rasio [sebesar 1:4] ini toh tidak terlalu mendukung ekspor kan,” jelasnya.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat ekspor CPO per kuartal I/2023 mencapai US$5,92 miliar alias turun 11,34% secara year on year (yoy) dari US$6,67 miliar pada kuartal I/2022. Penurunan lebih dipicu oleh tekanan harga minyak sawit di pasar global.
Adapun, permintaan CPO dari Pakistan pada periode tersebut tercatat anjlok 46,86% yoy dari dari India turun 12,94% yoy. Sebaliknya, pengapalan ke China naik 139,74% yoy.
Kepala Badan Kebijakan Perdagangan Kementerian Perdagangan Kasan Muhri menjelaskan penurunan pengalihfungsian eskpor per Mei tidak dimaksudkan untuk memperketat pengapalan CPO dan produk turunannya.
“Dilakukan semata-mata rasio pengalihan diturunkan. Ekspor yg didepositokan kan sekitar 3,027 juta ton. Nanti mulai per 1 Mei akan dicairkan, sehingga rata-rata [ekspor CPO] perbulannya 336 ribu ton. [Stok deposito] yang belum direalisasikan sekitar 6 juta ton,” jelas Kasan dalam konferensi pers, Kamis (27/4/2023).
Dia meyakini perubahan kebiijakan rasio ekspor CPO dan produk turunannya tersebut tidak akan menjadi hambatan bagi industri kelapa sawit di dalam negeri. Terlebih, tujuan utama kebijakan tersebut adalah untuk memastikan pasok bahan baku minyak goreng di pasar domestik.
Sebelumnya, pelaku industri kelapa sawit sempat mengeklaim sejak pemerintah menerapkan DMO, produsen minyak kelapa sawit menanggung selisih biaya produksi dengan harga eceran tertinggi (HET) minyak goreng senilai Rp14.000/liter yang ditetapkan pemerintah.
Adapun, sebagian keuntungan yang diperoleh dari ekspor digunakan untuk menanggung selisih tersebut.
"Produsen menombok dengan margin [keuntungan] ekspor. Namun, saat ini permintaan ekspor sedang menurun dan harga minyak kelapa sawit ini turun. Kalau masih ada bea keluar dan pungutan ekspor, kami mau untung dari mana?" kata Plt. Ketua Umum Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI) Sahat Sinaga, awal Februari.
(wdh)