“Bahkan ketika beberapa sedikit lebih mahal daripada sebelumnya, banyak yang masih menganggap pengeluaran untuk bepergian itu bernilai,” kata Marcos Guerrero, direktur senior penerbangan di perusahaan perjalanan online itu.
Menurut Michael O'Leary, CEO dari Ryanair Holdings Plc, yang merupakan maskapai penerbangan terbesar di Eropa, kabar buruknya saat ini bagi konsumen adalah harga tiket kemungkinan besar masih akan tinggi selama beberapa tahun ke depan.
Kekurangan Staf
Maskapai-maskapai penerbangan menderita kerugian hampir US$200 miliar akibat Covid. Bahkan terjadi PHK pada puluhan juta pekerja di sektor itu. Dengan pemulihan yang terjadi saat ini, industri tengah berjuang untuk merekrut kembali pegawai. Banyak mantan pekerja maskapai yang terlatih memutuskan untuk beralih karir sepenuhnya untuk pekerjaan yang lebih stabil.
Kekurangan staf ini memperburuk alur penumpang di meja check-in bandara, imigrasi, dan bagasi. Hal ini memaksa maskapai penerbangan untuk menarik dan mempertahankan staf dengan menawarkan gaji yang lebih tinggi. Hal ini berarti tiket pesawat akan lebih mahal karena para operator mencoba menutup pengeluaran mereka.
Harga Minyak Tinggi
Harga bahan bakar telah mendingin selama setahun terakhir, tapi harga minyak mentah masih lebih mahal 50% dibandingkan Januari 2019. Hal ini menimbulkan masalah bagi para maskapai penerbangan karena bahan bakar adalah satu-satunya biaya terbesar mereka.
Banyak operator, terutama yang tarifnya cenderung murah, tidak melakukan lindung nilai bahan bakar. Hal ini membuat mereka rentan terhadap lonjakan harga yang dipicu oleh peristiwa global, seperti invasi Rusia ke Ukraina.
Adapun industri ini harus mengeluarkan kocek sekitar US$2 triliun untuk merealisasikan upaya karbon netral pada tahun 2050, menurut International Air Transport Association. Para maskapai pun harus menaikkan harga tiket untuk mengatasinya.
Saat ini, beberapa teknologi baru sedang dibahas, seperti pesawat bertenaga hidrogen dan listrik. Namun, sebagian besar masih dalam tahap penelitian, dan diperkirakan akan mahal.
Kekurangan Pesawat
Sebanyak 16.000 pesawat, atau sekitar dua pertiga dari total armada komersial dunia, dikandangkan pada saat pandemi memuncak, dan menjadikan armada-armada itu layak terbang lagi adalah tugas yang besar.
Banyak pesawat disimpan di gurun di Amerika Serikat (AS) dan Australia, yang tidak terlalu rentan terhadap kerusakan, namun masih dapat mengalami masalah pada interior dan mesin.
Selain itu, para produsen pesawat saat ini cenderung tertinggal, dengan kekurangan tenaga kerja di subkontraktor yang menghentikan produksi mereka. Sanksi yang terkait dengan Rusia juga mempersulit Airbus SE, Boeing Co. dan para pemasok mereka untuk mengamankan bahan mentah seperti titanium, yang mendorong harga suku cadang pesawat.
Tantangan lainnya adalah mesin pesawat baru. Perusahaan-perusahaan seperti Spirit Airlines Inc. dan IndiGo India terpaksa menganggurkan pesawat baru mereka karena pasokan suku cadang yang sedikit. Belum lagi, para pabrikan tengah berjuang untuk membangun turbin baru.
Beberapa teknologi generasi baru juga membutuhkan perawatan yang lebih sering, karena suku cadang seperti logam, pelapis, dan komposit lebih cepat aus.
“Kapasitas adalah tantangan. Dalam jangka menengah, ketidakmampuan Airbus dan Boeing untuk meningkatan produksi, berarti kapasitas akan terus menjadi tantangan untuk dua, tiga, lima tahun ke depan,” kata O'Leary dari Ryanair pada konferensi Bloomberg bulan ini.
Dia memperkirakan tarif pesawat naik dua digit musim panas ini, menyusul lompatan sebanyak 15% tahun lalu.
Lambatnya Kebangkitan China
China, sebagai ekonomi terbesar kedua di dunia dan sumber dari pengeluaran pariwisata tahunan sebesar hampir US$280 miliar, sebelum pandemi ini, masih berupaya bangkit kembali dari krisis. Masyarakat China tidak terlalu ingin mengambil risiko untuk bepergian lagi, bahkan setelah kebijakan ketat Covid Zero dicabut.
Sebuah survei yang diterbitkan pada Rabu (26/04/2023) menemukan bahwa lebih dari 30% wisatawan China cenderung mengesampingkan perjalanan ke luar negeri pada tahun 2023.
Association of Asia Pacific Airlines mengatakan, setidaknya butuh satu tahun bagi China untuk kembali ke tingkat perjalanan udara internasional pra-pandemi. Pembukaan kembali China yang lambat membuat maskapai penerbangan ragu dalam upaya membawa kembali semua pesawat dan kapasitas mereka.
Hal itu mengakibatkan lebih sedikitnya kursi di rute internasional, menekan permintaan, dan menaikkan harga tiket pesawat.
“Maskapai masih belum sepenuhnya pulih dari pandemi. Penerbangan ke China bisa menjadi contoh. Jumlahnya sangat sedikit saat ini dan yang ada pun harganya sangat tinggi,” kata Clint Henderson, redaktur pelaksana situs perjalanan The Points Guy.
Permasalahan Soal Poin Maskapai
Konsumen mengumpulkan jutaan poin dan miles maskapai dari pembelanjaan kartu kredit selama pandemi. Namun, benefit itu sulit digunakan karena kurangnya ketersediaan kursi di penerbangan.
Maskapai biasanya menyisihkan hanya beberapa tempat untuk penukaran poin. Henderson mengatakan bahwa maskapai juga mulai mendevaluasi poin mereka dan konsumen memiliki peluang langka untuk menggunakannya.
"Jika Anda melihat deal yang menarik, ambil,” katanya. “Kesempatan itu tidak bertahan lama akhir-akhir ini."
—Dengan asistensi Siddharth Philip dan Karthikeyan Sundaram.
(bbn)