"Saya kira ini terkait dengan substansi perkara. Ya, nanti kita lihat bagaimana perkembangannya," ujar Harli.
Dalam kasus ini, jaksa menilai Thomas sebagai Menteri Perdagangan melakukan korupsi usai memberikan izin persetujuan impor sebesar 105.000 ton kepada perusahaan swasta, PT AP pada 2015. Padahal, saat itu, Indonesia tengah mengalami surplus produksi gula.
Selain itu, pemberian izin setidaknya melanggar dua aturan. Pertama, sesuai Keputusan Menteri Perdagangan dan Perindustrian nomor 527 tahun 2024, izin impor gula kristal putih harusnya hanya diberikan kepada perusahaan BUMN. Kedua, pemberian izin juga tak melalui proses rapat koordinasi dengan instansi terkait.
Setelah itu, Thomas kembali mengeluarkan izin impor gula 300.000 ton gula kristal putih kepada perusahaan pelat merah, PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI) pada Januari 2016. Bedanya, keputusan impor memang didasarkan pada hasil rakor dengan Kementerian Koordinator Perekonomian yang menyetujui impor 200.000 ton gula kristal putih untuk menutup kekurangan stok gula pada 2016.
Akan tetapi, pada prakteknya, Thomas disebut mengeluarkan izin impor kepada PT PPI dan delapan perusahaan swasta. Mereka pun melakukan impor gula kristal mentah. Usai diolah menjadi gula pasir putih, gula-gula impor dari delapan perusahaan swasta tersebut dibeli PT PPI dengan klaim gula impor.
Berdasarkan perhitungan sementara, penyidik menerima informasi PT PPI mendapat fee dari delapan perusahaan swasta sebesar Rp105 per kg gula kristal mentah yang diimpor. Penyidik menduga praktik korupsi ini merugikan negara hingga Rp400 miliar.
"Nah, terkait dengan kerugian keuangan negara yang sudah disampaikan bahwa ini kan akan terus dihitung. Ya, dihitung untuk pastinya seperti apa," kata Harli.
(fik/frg)