“Masalah lahan seperti apa itu kami perlu lihat lebih lanjut apakah itu terkait dengan ganti rugi atau terkait dengan kondisi geografis dan hal lain,” ujarnya.
Jadi Perhatian
Arsari menggarisbawahi proyek hilirisasi bauksit menjadi perhatian bersama. Dengan demikian, Kementerian ESDM juga bakal melakukan pendalaman untuk menyelesaikan permasalahan tersebut, salah satunya mempelajari hasil kajian.
Berbeda kisah dari nikel dan tembaga, hilirisasi lain di sektor bauksit justru masih tertatih-tatih. Hilirisasi bauksit sebenarnya menghasilkan produk dengan nilai tambah besar berupa alumina. Namun, hal tersebut justru menyebabkan nilai investasi yang digelontorkan untuk pembangunan smelter menjadi lebih mahal.
Pelaksana Harian Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Bauksit dan Bijih Indonesia (AP3BI) Ronald Sulistyanto menjelaskan biaya investasi smelter bauksit mencapai US$1,2 miliar untuk 2 juta ton.
“Nikel itu bervariasi, di bawah US$1,2 miliar, bergantung dengan produk turunannya apa. Kenapa bauksit mahal? Karena turunannya hanya sekali, jadi alumina,” ujar Ronald.
Investasi yang besar tersebut pada akhirnya menyebabkan progres pembangunan smelter bauksit menjadi lambat, yakni saat ini rata-rata berada di bawah 50%.
Bahkan, AP3BI menilai Indonesia belum akan memiliki smelter bauksit tambahan dalam waktu dekat, usai Jokowi melakukan peresmian terhadap injeksi bauksit perdana Smelter Grade Alumina Refinery (SGAR) fase 1 di Mempawah, Kalimantan Barat dengan nilai investasi Rp16 triliun.
(dov/wdh)