Sekadar catatan, berdasarkan perhitungan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) harga gas dari jargas dengan insentif viability gap fund (VGF), di mana maksimal 49% dari belanja modal atau capital expenditure (capex) akan diberikan pemerintah saat konstruksi, bisa dijual pada level Rp11.341/m3 dengan wilayah jaringan distribusi (WJD) dan Rp10.724/m3 tanpa WJD dengan asumsi harga gas hulu US$4,72/MMBtu.
Sementara itu, harga gas tanpa insentif VGF adalah Rp14.683/m3 dengan wilayah jaringan distribusi (WJD) dan Rp14.068/m3 tanpa WJD dengan asumsi harga gas hulu US$4,72/MMBtu.
Di lain sisi, harga LPG nonsubsidi saat ini untuk jenis Bright Gas 5,5 kg Rp90.000 per tabung, Sementara itu, untuk Bright Gas 12 kg dan Elpiji 12 kg Rp192.000 per tabung.
“Hitung-hitungan kami, kalau 1 juta SR, hitungan penghematannya per tahunnya saja, itu kira-kira Rp1 triliun. Artinya yang bicara ini adalah aspek fiskalnya. Jadi kalau sampai 4 juta SR, maka kita akan hemat sekitar Rp4 triliun. Itu dari fiskalnya,” ujarnya.
“Sehingga ketika jargas bisa kita masifkan sebetulnya yang untung adalah ekonomi makro secara keseluruhan, terutama aspek di keuangan negara.”
Dalam kesempatan yang sama, Direktur Perencanaan dan Pembangunan Infrastruktur Migas Kementerian ESDM Laode Sulaeman mengatakan jargas menjadi salah satu dari tiga target utama yang dikejar dalam pemerintahan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka, selain peningkatan produksi siap jual atau lifting minyak dan produksi LPG dalam negeri.
“Jargas ini diharapkan untuk bisa mengonversi, pokoknya kita upayakan secara masif sehingga bisa mengganti konsumen LPG yang ada sekarang. Cita-citanya bisa turunkan impor yang sudah sangat membebani,” ujar Laode.
Sekadar catatan, permintaan LPG nasional adalah 8,8 juta ton pada 2024, di mana hanya 21% berasal dari produksi dalam negeri sementara 79% berasal dari impor.
(dov/wdh)