Sekadar catatan, Biden berkampanye dengan janji untuk mempercepat peralihan ke energi bersih dan menandatangani rancangan undang-undang perubahan iklim menjadi undang-undang.
Namun, di sisi lain, pemerintahan Biden juga menyetujui beberapa usaha bahan bakar fosil — termasuk pengembangan minyak Willow milik ConocoPhillips dan ekspor gas alam dari Alaska — yang menyebabkan keraguan publik terhadap komitmen hijaunya.
Biden berjanji untuk mengekang pendanaan publik bagi proyek bahan bakar fosil asing dengan menerbitkan peraturan pemerintah pada pekan pertamanya di Gedung Putih. Belakangan, pada KTT Iklim PBB 2021 di Glasgow, dia menandatangani janji dengan 33 negara lain untuk menghentikan dukungan publik langsung pada proyek bahan bakar fosil internasional yang berkelanjutan hingga akhir 2022.
Manajer program keuangan internasional untuk kelompok lingkungan Friends of the Earth US, Kate DeAngelis, mengatakan pemungutan suara pada Kamis akan menjadi keputusan besar pertama Bank Eksim AS pada proyek bahan bakar fosil sejak Biden menjabat.
“Kami berharap ini berarti Bank Eksim telah mempertimbangkan kembali pembiayaan kilang minyak, mengingat tingginya risiko kebakaran dan pencemaran lingkungan setempat,” kata DeAngelis Rabu melalui surel.
“Bank Eksim harus mematuhi Komitmen Glasgow dan mengakhiri dukungannya terhadap proyek bahan bakar fosil semacam itu dan sebagai gantinya membantu Indonesia dan negara lain dalam transisi energi yang adil,” lanjutnya.
Juru bicara PT Pertamina tidak segera memberikan berkomentar.
Ekspansi kilang di Indonesia adalah bagian dari rencana yang lebih luas oleh Pertamina untuk memperbarui kilang dan meningkatkan kapasitas kilang di seluruh Nusantara — yang menurut perusahaan akan membantu membuat produk yang “lebih ramah lingkungan”.
Analis dan advokat industri minyak mengatakan dunia masih akan membutuhkan bahan bakar berbasis minyak bumi untuk tahun-tahun mendatang. Dalam kaitan itu, perluasan kilang Indonesia dapat menghasilkan efisiensi yang lebih besar sekaligus memungkinkan lebih banyak produksi biofuel dan pasok bahan bakar yang dibutuhkan di negara tersebut.
Secara terpisah, Indonesia berusaha mengekang emisi gas rumah kaca dari sektor kelistrikan menyusul kesepakatan Just Energy Transition Partnership (JETP) senilai US$20 miliar dengan AS dan Jepang untuk beralih dari tenaga batu bara.
Menurut pernyataan pemerintah, usulan pinjaman US$99,7 juta dari Bank Eksim AS itu juga diharapkan dapat meningkatkan ekspor peralatan dan layanan perkilangan AS sekitar US$63,9 juta.
Namun, menurut riset Friends of the Earth US dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, peningkatan produksi bensin hanya akan menghasilkan lebih banyak emisi gas rumah kaca yang tidak sesuai dengan tujuan iklim pemerintahan Biden.
Shruti Shukla, advokat energi internasional Dewan Pertahanan Sumber Daya Alam, berpendapat mendukung proyek di Indonesia tidak sesuai dengan peringatan Badan Energi Internasional bahwa jendela untuk menghindari konsekuensi paling dahsyat dari perubahan iklim telah ditutup — dan penyebaran energi terbarukan harus meningkat dengan cepat demi membatasi emisi yang memicu pemanasan global.
“Kami berada pada tahap di mana kami harus memilih pemenang dari sudut pandang iklim. Kami tahu jawabannya: Kami tahu mana yang lebih murah, kami tahu mana yang lebih bersih. Menggunakan pembiayaan publik terbatas yang tersedia untuk proyek-proyek kotor tidak dapat dipertahankan,” ujarnya.
--Dengan asistensi Yudith Ho.
(bbn)