Menyitir data Badan Pusat Statistik (BPS), nilai impor produk tekstil dengan kode HS 61 (pakaian dan aksesori dirajut), 62 (pakaian dan aksesori bukan dirajut), dan 63 (produk tekstil yang dibuat secara lain) adalah US$420,45 juta (atau setara Rp6,61 triliun asumsi kurs saat ini) pada 2024.
Dengan demikian, hal tersebut tidak hanya mencerminkan kondisi Sritex sebagai perusahaan, tetapi juga kondisi industri pertekstilan secara keseluruhan yang masih membutuhkan reformasi dan dukungan agar tetap kompetitif.
Achmad menilai upaya penyelamatan industri tekstil selama pemerintahan Presiden Ke-7 Joko Widodo memang sudah ada, seperti adanya kebijakan pengetatan impor dan bantuan insentif ke beberapa sektor.
Namun, langkah-langkah ini tampaknya belum cukup untuk menjawab masalah mendasar di sektor tekstil, terutama dalam hal efisiensi, modernisasi teknologi, serta ketergantungan pada pasar ekspor yang saat ini cukup terpukul akibat perlambatan ekonomi global.
“Pemerintah juga perlu memperkuat daya saing industri dalam negeri dengan mendorong inovasi dan akses pasar yang lebih luas,” ujarnya.
Pendekatan Baru
Achmad menilai pailitnya Sritex bisa dilihat sebagai ujian bagi pemerintahan Prabowo mendatang, yang memerlukan pendekatan baru dalam mendukung industri tekstil, misalnya melalui kebijakan fiskal yang lebih menguntungkan industri dalam negeri dan regulasi yang memudahkan produksi serta distribusi lokal.
Menurut Achmad, pemerintah dapat mempertimbangkan beberapa langkah yang strategis dalam kebijakan fiskal, salah satunya adalah penundaan pajak penghasilan misalnya melalui tax holiday, yang memungkinkan perusahaan di sektor tekstil untuk menunda kewajiban pajaknya dalam beberapa tahun sulit seperti Sritex.
“Ini bisa memberikan mereka kelonggaran finansial untuk fokus pada operasional dan pengembangan bisnis,” ujarnya.
Selain itu, pajak preferensial dan pengurangan tarif pajak juga bisa diberikan kepada perusahaan yang berinvestasi dalam peningkatan teknologi serta digitalisasi produksi, sehingga daya saing produk dalam negeri bisa makin kuat di tengah ketatnya persaingan dengan produk impor.
Menurut Achmad, pemerintah juga dapat memberikan subsidi bunga kredit, yang akan sangat bermanfaat bagi perusahaan kecil dan menengah yang sering kali kesulitan mendapatkan pembiayaan dengan suku bunga rendah.
Di sisi lain, untuk mendorong penetrasi pasar global, pemerintah bisa menyediakan insentif pajak untuk ekspor, dengan pengurangan atau pembebasan pajak bagi perusahaan yang meningkatkan nilai ekspor mereka.
Selanjutnya, karena industri tekstil kerap bergantung pada bahan baku impor, pembebasan bea masuk untuk bahan baku tertentu atau peralatan produksi yang tidak tersedia dalam negeri dapat menjadi solusi yang efektif. Hal ini dapat membantu menekan biaya produksi dan meningkatkan daya saing produk.
Pemerintah juga bisa mendukung pemulihan aset dan revaluasi aset perusahaan, yang memungkinkan akses pembiayaan tambahan berdasarkan nilai aset yang sudah direvaluasi.
Terakhir, mendukung ekosistem rantai pasok lokal dengan memberikan insentif bagi perusahaan yang bermitra dengan pemasok bahan baku lokal juga akan memperkuat sektor ini dari dalam, mengurangi ketergantungan pada impor, serta mendorong keberlanjutan rantai pasok industri tekstil nasional.
Gegara Permendag 8?
Komisaris Utama Sritex Iwan Setiawan Lukminto mengamini Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 8 Tahun 2024 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 36 Tahun 2023 tentang Kebijakan dan pengaturan Impor mengganggu operasional industri tekstil di Indonesia.
“Kalau itu [apakah Permendag No. 8/2024 mengganggu operasional] secara nyata pasti ya, karena teman-teman kita juga kena banyak, teman-teman di tekstil ini,” ujar Iwan saat ditemui di Kantor Kemenperin, Jakarta Selatan, Senin (28/10/2024).
Iwan menggambarkan Permendag 8 sebagai masalah klasik yang menyebabkan disrupsi pada pelaku industri tekstil dalam negeri, bahkan hingga tidak beroperasi atau tutup. Sehingga, kata dia, beleid yang ditetapkan pada 17 Mei 2024 itu dianggap berpengaruh signifikan kepada industri dalam negeri.
Sekadar catatan, Permendag No. 8/2024 acapkali dituding sebagai salah satu biang permasalahan terjadinya gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) di industri tekstil dan produk tekstil (TPT). Permendag tersebut bahkan sampai membuat reaksi sejumlah asosiasi atau kalangan pengusaha, hingga pekerja TPT yang terdampak PHK, melakukan unjuk rasa.
Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (Apsyfi) menilai dalam kebijakan ini, regulasi soal mekanisme arus barang yang terdampak lartas impor direlaksasi, sehingga membuat importasi beberapa komoditas manufaktur —yang berpotensi mengganggu industri serat filamen— menjadi makin mudah masuk ke RI.
Di sisi lain, Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Jemmy Kartiwa Sastraatmadja juga berpandagan, justru dengan diberlakukannya pertek sebagai syarat untuk mendapatkan PI; produk pakaian jadi, produk-produk tekstil impor, dan aksesori pakaian yang tidak sesuai standar Indonesia tidak bisa sembarangan masuk ke pasar domestik.
"Saya kira [syarat pertek] itu banyak dilakukan oleh berbagai negara sebagai bagian dari pertimbangan teknis. Mungkin yang digembar-gemborkan bahwa bahan baku tekstil itu banyak tertahan di pelabuhan, saya kira itu tidak. Sebab, pertek ini diberlakukan untuk bahan bahan baku industri sudah sejak dahulu," tutur Jemmy.
Signifikansi Sritex
Sekadar catatan, Sritex merupakan salah satu raksasa perusahaan tekstil dalam negeri.
Pada 1994, Sritex dipercaya menjadi produsen seragam militer untuk North Treaty Organization (NATO) dan tentara Jerman. Sritex juga telah menjalin kerja sama dengan berbagai angkatan bersenjata internasional lainnya.
Hingga kini, Sritex memasok seragam militer untuk beberapa negara, antara lain Indonesia, Australia, Belanda, Inggris, Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, Timor Leste hinga Uni Emirat Arab.
Sementara itu, untuk produk fesyen garmen, Sritex bertanggung jawab untuk beberapa retailer ternama yang menyebar hingga 4 benua. Menariknya, menyitir dari berbagai sumber, Sritex diminati oleh merek global ternama seperti H&M, Zara, dan Uniqlo.
Untuk diketahui, industri tekstil dan produk tekstil (TPT) nasional terus mengalami kemerosotan kinerja sejak berakhirnya pandemi Covid-19. Menurut API, semuanya berawal dari melambatnya ekonomi global seusai masa pagebluk, didorong adanya inflasi tinggi dan kenaikan suku bunga di berbagai negara, termasuk Indonesia.
"Pascapandemi terjadi slow down ekonoomi global, yang diawali dengan inflasi yang tinggi dan diikuti kenaikan suku bunga di berbagai belahan dunia termasuk Indonesia. Ini berdampak penurunan daya beli berbagai negara, tidak luput Amerika Serikat [AS] dan negara-negara di Uni Europa [UE]," jelas Ketua API Jemmy Kartiwa.
Pada saat bersamaan, surplus produksi komoditas pertekstilan di dalam negeri China juga kian membengkak pascapandemi. Risiko dumping barang tekstil dari Negeri Panda pun makin menganga.
Hal ini pula yang kian membuat negara-negara produsen tekstil dunia melakukan berbagai kebijakan untuk melindungi industri dalam negerinya dari serbuan produk China.
Meski demikian, China tetap memanfatatkan surplusnya tersebut ke Indonesia, sehingga kondisi inilah yang kian membuat tekanan terhadap sektor industri TPT dalam negeri.
Dalam perkembangan ekspor maupun impor industri TPT dalam rentang 2014 hingga 2023, Kementerian Perindustrian mencatat puncak kinerja terbaik sektor tersebut terjadi pada 2019 dengan kontribusi pertumbuhan terhadap produk domestik bruto (PDB) dalam negeri sebesar 15,35%.
Namun, sejak 2020 sampai 2024, industri ini kerap kali digempur banyak masalah mulai dari pandemi Covid-19, kondisi geopolitik dan ekonomi dunia ketika Rusia menginvasi Ukraina sejak awal 2022, hingga inflasi yang terjadi di Amerika Serikat dan Uni Eropa.
Berbanding lurus dengan hal itu, Konfederasi Serikat Pekerja Nasional (KSPN) mencatat jumlah korban pemutusan hubungan kerja (PHK) pada sektor industri TPT di Indonesia hampir mencapai 15.500 pekerja per 9 September 2024.
Presiden KSPN Ristadi melaporkan PHK tersebut terjadi karena pabrik-pabrik yang tutup, seiring dengan makin banyaknya pelaku industri pertekstilan yang melakukan efisiensi usaha.
“Total sejak awal 2024, ada 15.415 orang korban PHK anggota KSPN,” ujar Ristadi kepada Bloomberg Technoz.
(dov/wdh)