Departemen keuangan AS tidak lama lagi akan mengungkap perkiraan terkini mengenai kapan pemerintah AS akan berisiko mengalami gagal bayar utang tanpa ada kenaikan batas jumlah pinjaman pemerintah federal. Adapun para pengamat memperkirakan, angka itu akan diumumkan akhri Juli tapi memperingatkan bahwa lemahnya pendapatan dari pajak akan mempercepatnya hingga awal Juni.
Dampak ke pasar keuangan
Isu debt ceiling sejatinya bukan kali pertama ini merebak dan membuat panas perdebatan di antara politisi di negeri adidaya itu. Bahkan boleh dibilang, isu batas plafon utang pemerintah AS itu menjadi isu rutin saban tahun yang selalu berulang.
Bedanya, untuk tahun ini, menurut analis, Partai Republik bersedia negosiasi lebih cepat di mana mereka sudah memasang posisi lebih dulu dengan mengajukan RUU kenaikan batas plafon utang dengan syarat pemerintah federal bersedia memangkas pengeluaran. “Ini seperti ritual politik tahunan di mana dua belah pihak baik Partai Demokrat maupun Republik saling tarik ulur dalam negosiasi politik untuk memajukan agenda politik mereka masing-masing,” komentar Lionel Prayadi, Macro Strategist Samuel Sekuritas.
Adapun terhadap pasar keuangan domestik, menurut para analis, isu ancaman gagal bayar dan perdebatan seputar kenaikan batas plafon utang AS tidak terlalu berpengaruh ke pasar.
Pelaku pasar sejauh ini lebih “cemas” pada sentimen arah pergerakan bunga acuan Federal Reserve yang akan berdampak langsung pada tingkat return investasi mereka baik di pasar obligasi maupun pasar saham. “Menurut saya, lebih berpengaruh momentum kenaikan bunga acuan Fed yang akan diumumkan Rabu pekan depan,” ujar analis.
Pasar memperkirakan Fed Fund Rate akan naik 25 bps pada Mei nanti. Setelah itu isunya bergeser lagi ke perkiraan puncak bunga Fed. Kejatuhan yang dialami oleh beberapa bank daerah di AS diyakini akan memperketat penyaluran kredit di negara itu dan membawa dampak pada perlambatan ekonomi lebih besar ketimbang perkiraan bank sentral, berdasarkan survei Bloomberg pada para ekonom. Itu dikhawatirkan akan mengarahkan perekonomian AS pada resesi bila Fed akan terus menempuh agresivitas pengetatan moneter.
Pada perdagangan tadi malam, WallStreet ditutup melemah karena investor khawatir terhadap dampak First Republik yang mulai dibatasi jatah pinjamannya oleh otoritas.
Indonesia di atas angin
Hari kedua perdagangan dibuka pasca libur panjang Lebaran, pasar keuangan Indonesia justru menampilkan performa semringah. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) melanjutkan penguatan jelang penutupan sesi 1, Kamis (27/4/2023) dengan bertahan di zona hijau 6.964,28. Menguat hampir 1%.
Pada perdagangan Rabu lalu, IHSG berhasil melompat 1,29% dengan animo pemodal asing memborong saham nyaris Rp2 triliun. Bukan cuma itu, nilai tukar rupiah juga makin perkasa kini berada di Rp14.735, pada pukul 11:48 WIB.
Rupiah terdorong sentimen pelemahan dolar AS dan tingginya animo asing menyerbu aset rupiah. Pengelola dana kelas kakap JPMorgan Asset Management, salah satunya, menyatakan secara jelas kesukaan mereka pada obligasi rupiah (SUN/INDOGB) dengan meningkatkan porsi kepemilikan dalam total portofolio mereka.
Inflasi yang semakin landai dan bunga acuan yang telah mencapai puncak, ditambah dampak dari booming komoditas terkait kendaraan listrik semakin menambah daftar positif pamor Indonesia di mata para pemodal.
(rui)