“Semua kami serahkan ke kementerian, semua regulasinya,” ujarnya.
Sekadar catatan, Permendag No. 8/2024 acapkali dituding sebagai salah satu biang permasalahan terjadinya gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) di industri tekstil dan produk tekstil (TPT). Permendag tersebut bahkan sampai membuat reaksi sejumlah asosiasi atau kalangan pengusaha, hingga pekerja TPT yang terdampak PHK, melakukan unjuk rasa.
Bermula dari 26 Ribu Kontainer Menumpuk di Pelabuhan
Pada 17 Mei 2024, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian (Menko Perekonomian) Airlangga Hartarto menyampaikan terdapat sekitar 26 ribu kontainer yang tertahan di pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta dan Tanjung Perak, Surabaya akibat belum terbitnya Persetujuan Impor (PI) dari Kemendag dan Pertimbangan Teknis (pertek) dari Kemenperin.
Menyusul kejadian tersebut, terjadilah rapat internal di Istana Negara, Jakarta yang dilakukan bersama Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Menurut Airlangga, Jokowi mengarahkan agar dilakukannya revisi terhadap Permendag No. 36/2023 yang telah sebelumnya telah direvisi menjadi Permendag No. 3/2024 dan Permendag No. 7/2024 yang pada intinya melakukan pengetatan impor dan persyaratan izin melalui pertek dan beberapa kendala dalam PI.
Adapun, kontainer yang tertahan itu terdiri dari komoditas besi baja, tekstil, produk tekstil, produk kimia, produk elektronik, dan komoditas lainnya yang memerlukan ijin impor dalam melakukan importasi.
Dengan demikian, pemerintah menerbitkan Permendag No.8/2024 dengan tujuan memberikan relaksasi perizinan impor pada beberapa komoditas yang terkena pengetanan. sejak 17 Mei 2024.
"Terhadap 7 kelompok barang yang didalam Permendag 36/2023 yang diubah menjadi Permendag 7/2024 yang diberikan pengetatan impor yaitu elektronik, alas kaki, pakaian jadi, dan aksesoris pakaian jadi, tas tas dan katup. Ini dilakukan relaksasi perijinan impor," ujar Airlangga.
Akibat diberlakukannya Permendag No.8/2024 tentang kebijakan dan pengaturan impor, sejumlah industri terlebih khusus TPT angkat bicara ihwal diberlakukannya peraturan tersebut yang dinilai justru jadi membuat buyar harapan pengusaha.
Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (Apsyfi) menilai dalam kebijakan ini, regulasi soal mekanisme arus barang yang terdampak lartas impor direlaksasi, sehingga membuat importasi beberapa komoditas manufaktur —yang berpotensi mengganggu industri serat filamen— menjadi makin mudah masuk ke RI.
Di sisi lain, Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Jemmy Kartiwa Sastraatmadja juga berpandagan, justru dengan diberlakukannya pertek sebagai syarat untuk mendapatkan PI; produk pakaian jadi, produk-produk tekstil impor, dan aksesori pakaian yang tidak sesuai standar Indonesia tidak bisa sembarangan masuk ke pasar domestik.
"Saya kira [syarat pertek] itu banyak dilakukan oleh berbagai negara sebagai bagian dari pertimbangan teknis. Mungkin yang digembar-gemborkan bahwa bahan baku tekstil itu banyak tertahan di pelabuhan, saya kira itu tidak. Sebab, pertek ini diberlakukan untuk bahan bahan baku industri sudah sejak dahulu," tutur Jemmy.
(ain)