Sejumlah saham mencatat kenaikan luar biasa dan menjadi top gainers. Di antaranya adalah PT Shield on Service Tbk (SOSS) yang melonjak 24,4%, PT Natura City Developments Tbk (CITY) dan PT Sona Topas Tourism Industry Tbk (SONA) melesat masing-masing 20,8% dan 18,7% serta PT Multi Garam Utama Tbk (FOLK) bertambah 14%.
Sedangkan sejumlah saham yang melemah dan menjadi top losers di antaranya PT Mandala Multifinance Tbk (MFIN) yang anjlok 15,6%, PT Sunindo Pratama Tbk (SUNI) jatuh 15,2%, dan PT Ashmore Asset Management Indonesia Tbk (AMOR) ambruk 12,8%.
IHSG menjadi sekian dari Bursa Asia yang menetap di zona merah, index SETI (Thailand), CSI 300 (China), TW Weighted Index (Taiwan), Hang Seng (Hong Kong), Straits Times (Singapura), Ho Chi Minh Stock Index (Vietnam), dan KLCI (Malaysia), yang melemah dan tertekan masing-masing mencapai 0,48%, 0,33%, 0,25%, 0,07%, 0,05%, 0,03%, dan 0,01%.
Dengan demikian, IHSG adalah indeks dengan pelemahan terdalam dan paling anjlok di Asia, jauh melangkahi Bursa Saham China.
Sementara Bursa Saham Asia lainnya berhasil melaju di zona hijau i.a Nikkei 225 (Tokyo), Topix (Jepang), SENSEX (India), Kospi (Korea Selatan), Shenzhen Comp. (China), dan Shanghai Composite (China), yang menguat 1,89%, 1,52%, 1,14%, 0,98%, 0,77%, dan 0,16%.
Dari dalam negeri, IHSG tersengat sentimen dari Pilpres AS. Ekonom menilai apabila calon presiden Partai Republik Donald Trump menjadi pemenang dalam pemilihan, maka Indonesia berpotensi menghadapi tantangan Ekonomi baru. Hal ini timbul dari potensi perubahan kebijakan fiskal dan moneter era Trump.
Periset Ekonomi dan Kebijakan Publik Center of Reform on Economic –CORE, Yusuf Rendy Manilet mengatakan, Trump kemungkinan akan mendorong kebijakan Ekonomi agresif seperti pemotongan pajak dan peningkatan pengeluaran infrastruktur.
Kebijakan tersebut diwaspadai menyebabkan Federal Reserve terpaksa menaikkan suku bunga demi mengendalikan laju inflasi AS.
“Kenaikan ini bisa menarik arus modal keluar dari Indonesia menuju aset di AS yang lebih aman dan imbal hasilnya lebih tinggi, melemahkan nilai tukar Rupiah dan meningkatkan beban utang luar negeri Indonesia,” kata Yusuf kepada Bloomberg Technoz, Senin (28/10/2024).
Di sisi lain, “Kebijakan proteksionisme Trump juga berpotensi melemahkan ekonomi global dan permintaan terhadap komoditas ekspor utama Indonesia, seperti batu bara, CPO, dan nikel,” tambahnya.
Di tengah-tengah sentimen tersebut, investor juga menanti data penting inflasi PCE Amerika Serikat (Personal Consumption Expenditures) di pekan ini yang juga merupakan inflasi pilihan Bank Sentral AS.
Inflasi PCE pada September diperkirakan bakal melandai jadi 2,1% year-on-year dibandingkan dengan 2,2% bulan sebelumnya. Namun secara bulanan masih akan ada kenaikan 0,2% dari sebelumnya 0,1%.
Sedangkan inflasi inti PCE, diproyeksikan Analis/ Ekonom akan ada kenaikan 0,3% month-on-month, dan melandai secara tahunan di angka 2,6%.
“Kenaikan tersebut mungkin akan menahan inflasi inti tahunan pada 2,7%,” terang tim Bloomberg Economics di antaranya Anna Wong, Stuart Paul, Eliza Winger, Estelle Ou dan Chris G. Collins.
Inflasi PCE tersebut merupakan acuan yang sering menjadi tolok ukur Federal Reserve dalam menentukan kebijakan moneternya bersamaan dengan laporan data Tenaga Kerja AS.
Badan Statistik Negeri Paman Sam akan merilis laporan ketenagakerjaan di Oktober, yang juga terbit di pekan ini sebagai acuan The Fed, menyangkut tingkat rekrutmen tenaga kerja (non-Farm Payroll) dan tingkat pengangguran juga perkembangan upah pekerja.
(fad)