Ke depannya, Tom mengatakan, MBMA bersama dengan Grup Tsingshan akan mengembangkan Indonesia Konawe Industrial Park (IKIP) yang berlokasi dalam area konsesi Tambang SCM dengan luas area sekitar 3.500 hektare.
“Untuk kebutuhan listrik IKIP, MBMA dan Tsingshan telah membentuk joint venture untuk mengembangkan pembangkit listrik tenaga air [PLTA] dengan kapasitas 60 megawatt di mana saat ini sedang dilakukan pre-feasibility study dan studi teknis lainnya serta perizinan dengan pihak-pihak terkait,” ujarnya.
Selain itu, MBMA akan bekerja sama anak perusahaan Provident untuk mengembangan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) dengan kapasitas 30 MWp di area konsesi SCM.
Secara grup, PT Bumi Suksesindo—anak perusahaan MDKA yang mengoperasikan Tambang Emas Tujuh Bukit di Banyuwangi Jawa Timur — 100% menggunakan energi terbarukan melalui Sertifikat Energi Terbarukan dari PT PLN selain penggunaan biosolar B35 untuk operasi peralatan tambang.
Tambang Tembaga Wetar, anak usaha MDKA lainnya, sudah menggunakan biosolar untuk operasinya serta sedang melakukan pilot project solar panel untuk kebutuhan listrik kantor tambangnya.
“Studi untuk pengembangan PLTS untuk mensuplai seluruh kebutuhan listrik operasi sedang dilakukan serta proses perijinan sudah berjalan,” ujarnya.
Laporan IEEFA
Sebelumnya, rencana kenaikan produksi dari empat perusahaan nikel besar di Indonesia—yakni PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) atau Antam, PT Merdeka Battery Materials Tbk (MBMA), PT Trimegah Bangun Persada Tbk (NCKL) atau Harita Nickel, dan PT Vale Indonesia Tbk (INCO) — diproyeksikan meningkatkan emisi karbon 38,5 juta ton CO2 pada 2028.
Hal ini sebagaimana termaktub dalam laporan terbaru Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA) bertajuk Indonesia's Nickel Companies: The Need for Renewable Energy Amid Increasing Production.
Laporan ini mengungkapkan Antam, Merdeka Battery, Harita, dan Vale—yang mewakili 26% produksi nikel Indonesia — menghasilkan logam nikel 350.000 ton pada tahun lalu, dengan emisi gas rumah kaca (GRK) hingga 15 juta ton.
Pada tahun yang sama, keempat perusahaan ini berhasil meraup laba US$996 juta dan pendapatan US$6,8 miliar. Keempat perusahaan ini berencana menaikkan kapasitas total produksinya menjadi 1,05 juta ton logam nikel pada 2028.
“Seiring perusahaan nikel Indonesia menikmati pertumbuhan laba dan skala bisnisnya, dengan rencana meningkatkan produksi lebih dari dua kali lipat dalam 3—5 tahun ke depan, sudah saatnya dilakukan percepatan transisi dari batu bara,” kata penulis laporan dan analis keuangan energi IEEFA Ghee Peh.
Laporan IEEFA memproyeksikan kenaikan emisi berdasarkan rencana peningkatan kapasitas produksi nikel empat perusahaan. Pertama, jika intensitas emisi GRK keempat perusahaan tidak berubah dari posisi 2023. Kedua, jika perusahaan mengupayakan intensitas emisinya sama dengan Vale.
“Mengacu skenario pertama, total emisi keempat perusahaan itu akan mencapai 38,5 juta ton, setara 4,5% dari total emisi GRK Indonesia tahun lalu sebesar 861,5 juta ton. Sementara pada skenario kedua, jika ketiga perusahaan mampu mencapai intensitas emisi 28,7 tCO2/tNi seperti Vale, total emisi akan berkurang 43% menjadi 22,3 juta ton CO2 pada 2028,” jelas Ghee.
Ghee Peh mengatakan tambahan kapasitas 530 ribu ton pada 2028 akan berdampak signifikan pada lingkungan jika perusahaan nikel masih terus bergantung pada pembangkit listrik berbahan bakar fosil.
(dov/wdh)