Bloomberg Technoz, Jakarta – Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) melaporkan Indonesia bakal memiliki 190 pabrik pemurnian atau smelter nikel, meskipun belum menjelaskan kapan semua fasilitas tersebut bakal beroperasi.
Direktur Pembinaan Program Mineral dan Batu Bara Kementerian ESDM Julian Ambassadur Shiddiq mengatakan 190 smelter nikel itu terdiri dari 54 smelter yang sudah beroperasi, 120 smelter yang sedang tahap konstruksi, dan 16 dalam tahap perencanaan.
Bisa bayangkan kalau nanti seumpama 190 smelter beroperasi, berarti habis nikel kita.
Direktur Pembinaan Program Mineral dan Batu Bara Kementerian ESDM Julian Ambassadur Shiddiq
Dari 190 smelter tersebut, Julian mengatakan hanya 8 atau 9 smelter yang memiliki teknologi berbasis high pressure acid leach (HPAL) dan sisanya berbasis rotary kiln-electric furnace (RKEF).
“Sebanyak 190 itu total 54 yang sudah beroperasi, 120 yang sedang konstruksi, 16 dalam tahap perencanaan, itu berdasarkan data Kementerian Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM),” ujar Julian saat ditemui di Jakarta Barat, Jumat (25/10/2024).

Untuk diketahui, smelter RKEF menghasilkan feronikel sebagai bahan baku komoditas besi dan baja nirkarat. Smelter nikel RKEF membutuhkan bijih nikel kadar tinggi (saprolit) sebagai bahan bakunya.
Sebaliknya, untuk keperluan produksi baterai kendaraan listrik, jenis yang dibutuhkan adalah nikel kadar rendah (limonit) yang diproses lewat smelter berteknologi HPAL atau berbasis hidrometalurgi.
Cadangan Aman?
Julian mengatakan kebutuhan bijih nikel berada pada level 200.000 ton untuk 54 smelter yang saat ini beroperasi. Sementara itu, cadangan nikel Indonesia saat ini 5,3 miliar ton.
Dengan asumsi 190 smelter bakal beroperasi dan kebutuhan bijih nikel bakal meningkat 3 kali lipat, maka Kementerian ESDM memproyeksikan industri nikel bakal selesai 4—5 tahun ke depan bila tidak ada tambahan cadangan.
“Bisa bayangkan kalau nanti seumpama 190 smelter beroperasi, berarti habis nikel kita. Cadangan kita saat ini yang terdata 5,3 miliar ton, kalau pada 2023 kebutuhan [bijih nikel] adalah 200.000 ton, kemudian kita naikkan tiga kali lipat, maka kemungkinan industri kita akan selesai 4—5 tahun ke depan,” ujarnya.
Namun, Julian menggarisbawahi Indonesia saat ini memiliki sumber daya nikel 18,6 miliar ton, yang dalam waktu dekat akan dilakukan konversi dari sumber daya ke cadangan.
Selain itu, Julian mengatakan Kementerian ESDM juga sudah meminta kepada Kementerian Investasi/BKPM untuk melakukan moratorium izin usaha industri (IUI) smelter RKEF.
Selanjutnya, Indonesia juga bakal melakukan penguatan atau peningkatan sumber daya dengan memberikan penugasan kepada beberapa badan usaha untuk meningkatkan sumber daya.
(dov/wdh)