"Pertama, [pemerintah] harus memberikan bantuan akses kredit bagi pelaku [usaha TPT] yang mengalami kendala finansial," kata Wijayanto kepada Bloomberg Technoz, dikutip Sabtu (26/10/2024).
Kedua, pemerintah bisa memberikan insentif pajak khusus produk tekstil yang berorientasi ekspor dan berfungsi sebagai subsitusi impor.
Ketiga, memperketat izin masuk produk tekstil dari negara lain, khususnya dari China, dengan tetap mengikuti aturan Organisasi Perdagangan Dunia atau World Trade Organization (WTO); termasuk yang dipasarkan melalui platform dagang-el.
"Keempat, mempercepat finalisasi free trade agreement dengan Uni Eropa [IEU-CEPA] dan dan dengan Amerika Serikat [US FTA], sehingga kita bisa bersaing dengan produsen tekstil dari negara lain, yang saat ini sudah meneken FTA dengan mereka; misalnya Vietnam, India, dan Bangladesh," jelasnya.
Kelima, simplifikasi dan penurunan biaya importasi bahan baku tekstil, dan eksportasi produk tekstil.
Keenam, mengembangkan jaringan logistik yang efisien serta menghilangkan praktik premanisme dalam birokrasi yang menghambat industri.
Wijayanto menekankan bahwa tanpa langkah-langkah tersebut, sektor industri TPT yang semestinya masih berpotensi tumbuh justru bisa jatuh makin dalam.
"Perlu waktu lama untuk membangun industri tekstil. Jika gulung tikar sulit dan perlu waktu lama bagi kita untuk membangunkannya lagi, padahal sejarah membuktikan tidak ada negara dengan penduduk besar yang bisa memasuki status negara maju berpendapatan tinggi, tanpa dukungan industri manufaktur yang kuat" tegasnya.
"Jadi, jalan kita menuju Indonesia Emas, akan makin panjang dan terjal," pungkasnya.
Manufaktur Jago Kandang
Adapun, Ketua Umum Asoasiasi Pengusaha Indonesia Shinta W Kamdani menggarisbawahi kinerja manufaktur Indonesia saat ini cenderung sangat tergantung pada kinerja pasar domestik alias 'jago kandang'. Menurutnya, tidak banyak industri manufaktur lokal yang bersaing di pasar global.
Dengan situasi tersebut, Shinta berpendapat, peningkatan efisiensi beban usaha bisa dilakukan dengan berbagai cara, seperti; reformasi struktural terhadap jasa-jasa yang berhubungan dengan sektor energi, logistik dan finansial.
"Semua parameter beban [pricing, lead time, suku bunga pinjaman, dan lain-lain] harus dibuat sedekat mungkin dengan rata-rata parameter beban tersebut di antara Asean-5 [Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, Thailand], ujar Shinta kepada Bloomberg Technoz, awal Oktober.
Shinta tidak menampik pelaku usaha masih bisa bernapas lega karena inflasi beban usaha yang lebih terkendali pada September. Namun, di sisi lain, pengusaha juga sangat khawatir terhadap konsumsi atau permintaan pasar domestik yang masih terus rendah atau sluggish.
Tak luput, Shinta juga mendesak pemerintah untuk serius membantu memberdayakan industri dalam negeri dalam menciptakan lebih banyak industri manufaktur yang berorientasi ekspor.
Hal ini bisa dilakukan dengan membantu adopsi teknologi manufaktur baru yang lebih efisien, ramah lingkungan untuk meningkatkan produktivitas industri nasional dengan beban usaha yang lebih rendah dan daya saing di pasar global yang baik.
Selanjutnya, pemerintah juga bisa membantu dengan memfasilitasi rantai pasok yang bersih atau green supply chain di Indonesia agar produksi industri manufaktur nasional mendapatkan prioritas oleh pasar global dan memenuhi persyaratan pasar dari negara-negara yang mengembangkan berbagai aturan impor berdasarkan isu keberlanjutan atau sustainability.
Pada saat yang sama, kata Shinta, diperlukan juga pengembangan dan pemberdayaan terhadap industri kecil menengah (IKM) yang berorientasi pada penciptaan rantai pasok domestik yang lebih kuat dan lebih efisien.
"Dengan demikian, usaha mikro, kecil dan menengah [UMKM] dan IKM nasional dapat turut berpartisipasi dalam peningkatan kinerja industri nasional sebagai bagian dari supply chain industri, termasuk industri manufaktur yang berorientasi ekspor," tuturnya.
(prc/wdh)