Emisi Terbesar
Laporan tersebut mencatat Antam menghasilkan emisi terbesar dari setiap ton nikel yang diproduksi, yakni 69,9 ton CO2 per ton nikel (tCO2/tNi).
Sementara itu, Harita menempati posisi kedua dengan angka emisi 68,4 tCO2/tNi, disusul Merdeka Battery 56,9 tCO2/tNi, dan terakhir Vale 28,7 tCO2/tNi.
Tingginya emisi ketiga perusahaan tersebut terjadi lantaran masih mengandalkan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) untuk proses produksinya. Hanya Vale yang telah memiliki pembangkit listrik tenaga air (PLTA) dan pembangkit listrik berbasis biodiesel untuk sumber listriknya.
Laporan IEEFA juga memproyeksikan kenaikan emisi berdasarkan rencana peningkatan kapasitas produksi nikel empat perusahaan.
Pertama, jika intensitas emisi GRK keempat perusahaan tidak berubah dari posisi 2023. Kedua, jika perusahaan mengupayakan intensitas emisinya sama dengan Vale.
“Mengacu skenario pertama, total emisi keempat perusahaan itu akan mencapai 38,5 juta ton, setara 4,5% dari total emisi GRK Indonesia tahun lalu sebesar 861,5 juta ton. Sementara itu, pada skenario kedua, jika ketiga perusahaan mampu mencapai intensitas emisi 28,7 tCO2/tNi seperti Vale, total emisi akan berkurang 43% menjadi 22,3 juta ton CO2 pada 2028,” jelas Ghee.
Ghee Peh mengatakan tambahan kapasitas produksi nikel sebesar 530.000 ton pada 2028 akan berdampak signifikan pada lingkungan jika perusahaan nikel masih terus bergantung pada pembangkit listrik berbahan bakar fosil.
“IEEFA memperkirakan dari total kapasitas baru 530.000 ton, di mana 51% akan berasal dari produksi feronikel beremisi tinggi [sekitar 60 tCO2/tNi], utamanya dilistriki oleh PLTU batu bara. Sisanya, 49% akan berasal dari produksi rendah emisi [sekitar 13 tCO2/tNi] melalui presipitat hidroksida campuran [MHP] dengan proses high-pressure acid leach [HPAL] berbasis zat kimia,” ungkap Ghee.
Laporan IEEFA menyatakan intensitas emisi Vale menjadi yang terendah karena tingginya porsi energi terbarukan yang digunakan, yakni mencapai 30,1%, dibandingkan dengan Harita yang hanya 5,3%, MBMA 4,9%, dan Antam 1,2%.
Walakin, Vale masih menggunakan bahan bakar fosil untuk mayoritas smelter dan proses produksinya, sehingga masih menghasilkan emisi.
Selain Vale, hingga saat ini baru Harita yang berencana menggunakan pembangkit listrik energi terbarukan. Harita berencana membangun pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) berkapasitas 300 MW pada 2025, yang akan membuat intensitas emisinya setara Vale.
MBMA juga berencana menggunakan PLTS tetapi tidak merinci kapasitasnya. Sementara Antam baru berencana menghentikan PLTU yang dimilikinya, tetapi hanya untuk beralih menggunakan listrik dari PT PLN (Persero) dengan sumber pembangkit listrik berbahan bakar gas dan PLTU.
Pemanfaatan energi terbarukan oleh Vale dan Harita menunjukkan bahwa perusahaan nikel Indonesia dapat mengurangi ketergantungan pada PLTU dan memangkas intensitas emisi GRK.
Namun, untuk menurunkan intensitas emisi lebih signifikan, perusahaan nikel Indonesia perlu beralih ke energi air, surya, atau energi terbarukan lainnya.
“Perusahaan harus menyeimbangkan manfaat ekonomi dari naiknya ekspor produk hilirisasi nikel dengan dampak lingkungan, dan mengurangi emisi dengan mengganti PLTU dengan energi terbarukan,” ujar Ghee Peh.
(dov/wdh)