Logo Bloomberg Technoz

"Indonesia mungkin melihat OECD suda tidak sekuat pada masa lalu karenanya Indonesia perlu masuk ke BRICS di mana kekuatan pasarnya sangat luar biasa dan mampu menjadi penyeimbang OECD," terangnya.

Ketergantungan China

Namun, pandangan berbeda datang dari Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira yang menyebut, bila Indonesia resmi menjadi keanggotaan BRICS, maka RI bakal makin menegaskan ketergantungan Indonesia kepada China.

"Tanpa BRICS, dari sisi investasi dan perdagangan Indonesia, porsi China sudah sangat besar. Impor Indonesia dari China melonjak 112,6% dalam 9 tahun terakhir, dari US$29,2 miliar pada 2015 menjadi US$62,1 miliar pada 2023," terangnya.

Sementara itu, investasi dari China melonjak 11 kali di periode yang sama. Indonesia juga tercatat sebagai penerima pinjaman Belt and Road Initiative terbesar dibanding negara lainnya pada 2023.

Dengan demikian, keputusan bergabungnya Indonesia kedalam BRICS juga akan berpotensi memengaruhi aksesi Indonesia ke OECD, di mana peluang Indonesia untuk mendorong pertumbuhan berkelanjutan bermitra dengan grup tersebut akan semakin mengecil.

"Dibandingkan dengan BRICS, urgensi Indonesia untuk bergabung dengan OECD jauh lebih tinggi, sejalan dengan upaya Indonesia menuju negara maju. Selain itu mengingat grup OECD memiliki anggota yang lebih besar sehingga dirasa lebih penting karena Indonesia perlu mendiversifikasi mitra yang lebih luas selain dari China."

"Energi dan fokus pemerintahan baru jika harus bergabung dalam banyak kerjasama multilateral akan sangat mahal termasuk soal biaya keanggotaan. Jauh lebih efektif fokus ke kemitraan yang sudah ada," kata peneliti Celios Yeta Purnama. 

Menteri Luar Negeri RI Sugiono dalam pertemuan KTT BRICS Plus di Kazan, Rusia (24/10/2024). (Dok. Kementerian Luar Negeri)

Dedolarisasi Tak Realistis

Untuk diketahui, ambisi negara anggota BRICS (Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan) adalah untuk mengurangi ketergantungan negaranya terhadap dolar atau dedolarisasi.

Adapun, terkait dengan isu dedolarisasi, ekonom Universitas Paramadina Wijayanto Samirin melihat adanya tantangan besar dalam mewujudkan dedolarisasi global. Menurutnya, gagasan BRICS untuk menggantikan dolar Amerika Serikat (AS) dengan mata uang tunggal yang baru tidaklah realistis. 

"Ide BRICS untuk punya mata uang tunggal sebagai pengganti US Dollar sangat tidak realistis, mengingat ukuran PDb BRICS yang masih jauh dari memadai dan tingkat ekonomi anggota BRICS masih sangat bervareasi," jelasnya.

"Kalau ingin menciptakan sistem pembayaran, dengan menggunakan mata uang masing-masing negara, itu sangat realistis akan terwujud, dan akan mampu mengurangi ketergantungan pada dolar AS; di mana saat ini dunia dan Indonesia terlalu tergantung," sambungnya.

Dia menambahkan, bagi Indonesia, prioritas dalam moneter dan perdagangan global adalah meningkatkan penerimaan rupiah oleh negara lain, memperluas pasar luar negeri, menarik lebih banyak investasi berkualitas, dan berperan dalam pembuatan kebijakan global; bukan sekadar menjadi obyek kebijakan.

Sementara keanggotaan di BRICS dipandang lebih mudah dicapai dengan peluang peran yang lebih besar, keanggotaan di OECD juga dinilai memiliki kekuatan dalam pengalaman dan stabilitasnya. 

Dengan demikian, Wijayanto pun menyarankan Indonesia bergabung dalam kedua organisasi tersebut untuk memaksimalkan manfaat ekonomi dan diplomatik.

Dengan munculnya pilihan-pilihan ini, langkah Indonesia ke depan akan menjadi penentu arah strategis dalam menghadapi ketergantungan global pada dolar AS dan memperkuat posisinya di panggung internasional.

"Kelebihan BRICS adalah proses bergabung lebih mudah dan kita akan lebih punya peran. Sementara itu, kelebihan OECD lebih mapan dan sudah teruji oleh waktu," tegasnya.

Sebelumnya, Deputi Bidang Koordinasi Kerja Sama Ekonomi Internasional Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Edi Prio Pambudi menyatakan Indonesia hingga saat ini memang selalu mencari peluang-peluang untuk membuat ekonomi menjadi efisien.

Hal ini termasuk langkah-langkah yang akan diambil BRICS dalam upaya dedolarisasi. Namun, konteksnya tidak spesifik secara politik memihak kebijakan suatu blok.

"Jadi tujuan utamanya sebenarnya lebih kepada efficient economy. Bukan masalah kita sensitif dengan sebuah mata uang, enggak. Karena bagaimanapun kalau kita masuk ke dalam situ [sensitif terhadap mata uang], nanti kita justru kehilangan sebenarnya perspektifnya akan kemana," kata Edi ketika ditemui awak media di kantornya, Jumat (25/10/2024).

Sebagai informasi, Menteri Luar Nnegeri Sugiono mengungkapkan alasan Indonesia mau bergabung menjadi anggota BRICS. Hal ini dia sampaikan dalam pertemuan KTT BRICS Plus di Kazan, Rusia, Kamis (24/10/2024).

Wakil Ketua Umum Partai Gerindra ini menjelaskan bahwa politik luar negeri Indonesia berdasar nilai bebas aktif. Sesuai arahan Presiden Prabowo Subianto, Indonesia ingin berteman baik dengan semua negara di dunia.

"[Bergabungnya Indonesia ke BRICS] Bukan berarti kita ikut kubu tertentu, melainkan kita berpartisipasi aktif di semua forum," ujar Menlu Sugiono melalui keterangan persnya, dikutip Jumat (25/10/2024).

(prc/wdh)

No more pages