Logo Bloomberg Technoz

Indonesia di Pusaran Dilema BRICS, OECD, dan Dedolarisasi

Pramesti Regita Cindy
26 October 2024 15:30

Menteri Luar Negeri RI Sugiono dalam pertemuan KTT BRICS Plus di Kazan, Rusia (24/10/2024). (Dok. Kementerian Luar Negeri)
Menteri Luar Negeri RI Sugiono dalam pertemuan KTT BRICS Plus di Kazan, Rusia (24/10/2024). (Dok. Kementerian Luar Negeri)

Bloomberg Technoz, Jakarta – Keinginan Indonesia untuk bergabung dalam keanggotaan BRICS dalam pertemuan KTT BRICS Plus di Kazan, Rusia, Kamis (24/10/2024) menuai sorotan. Kalangan ekonom pun memberikan tanggapan beragam atas niat pemerintah di kancah internasional tersebut.

Dari kalangan pendukung, Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia (UI) Hikmahanto Juwana berpendapat bergabungnya Indonesia dengan BRICS dapat memberikan posisi strategis dalam menjaga keseimbangan hubungan antara negara-negara Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) dan BRICS. 

"Menurut saya, bagus juga Indonesia bergabung dengan BRICS agar Indonesia tidak didominasi oleh negara-negara OECD. [Dengan begitu], Indonesia juga bisa menjaga jarak yang sama antara negara-negara yang tergabung dengan OECD dengan negara-negara yangg tergabung dalam BRICS," ujar Hikmahanto kepada Bloomberg Technoz, Sabtu (26/10/2024).

Selain itu, dia menekankan pentingnya diversifikasi aliansi strategis Indonesia, mengingat kekuatan pasar yang luar biasa dari BRICS dapat menjadi penyeimbang bagi OECD. 

Menteri Luar Negeri RI Sugiono dalam pertemuan KTT BRICS Plus di Kazan, Rusia (24/10/2024). (Dok. Kementerian Luar Negeri)

Alternatif mata uang selain dolar AS yang diusulkan BRICS juga dianggap sebagai langkah baik untuk mengurangi ketergantungan Indonesia pada dolar, yang selama ini mendominasi ekonomi global.