Putra juga menggarisbawahi pentingnya perencanaan yang matang di sektor energi untuk mendorong pembangunan, sekaligus menghindari beban jangka panjang.
Dalam hal ini, pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo, menurutnya juga perlu mendorong Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) yang lebih presisi dan dapat dijadikan patokan oleh investor. Pemerintah juga perlu memberikan kejelasan regulasi, yakni undang-undang terkait energi terbarukan.
"Pengalaman selama ini menunjukkan kalau Permen (peraturan menteri) saja tidak cukup, Perpres (peraturan presiden) saja tidak bisa jalan, jadi perlu ada kejelasan terkait undang-undang energi terbarukan" tegasnya.
Sementara itu, Anissa Suharsono dari IISD menjelaskan bahwa reformasi energi di Indonesia tidak hanya terkait teknologi, tetapi juga politik dan kebijakan subsidi.
Ia menyoroti subsidi energi fosil yang masih dominan dan menghambat pertumbuhan energi terbarukan. Menurutnya, subsidi ini harus dialihkan untuk menciptakan lingkungan investasi yang kondusif dan jelas bagi investor.
"Transisi energi tidak akan dapat direalisasikan tanpa pemerintah mengatasi berbagai hambatan terhadap perkembangan energi terbarukan, seperti ketentuan tingkat kandungan dalam negeri (TKDN), tarif energi terbarukan, dan subsidi energi fosil yang merugikan energi terbarukan." jelas Annisa.
"Iklim investasi yang stabil hanya dapat terbentuk jika pemerintah memiliki peta jalan yang jelas dan mengikat secara hukum, seperti yang telah diidentifikasi dalam dokumen CIPP JETP," ungkapnya.
Mengutip data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, pada 2023, Indonesia mengimpor minyak mentah hingga 132,39 juta barel. Tak hanya itu, Indonesia juga mengimpor produksi jadi olahan minyak sampai 26,89 juta kiloliter (KL) dan LPG 6,95 juta ton. Bahkan, pada tahun yang sama, Indonesia juga mengimpor batu bara walau dalam volume kecil, yakni 14,46 juta ton.
Di sisi lain, pengembangan energi terbarukan Indonesia masih lambat. Pada 2023, bauran energi terbarukan nasional baru mencapai 13,1%, jauh dari target 25% pada 2025. Namun, bukannya menyusun strategi untuk menggenjot energi terbarukan, pemerintah justru berencana menurunkan target baurannya menjadi 17-19% pada 2025.
Dalam pidatonya usai resmi dilantik sebagai Presiden ke-8 RI, Prabowo kembali menegaskan janjinya dalam mewujudkan Indonesia swasembada pangan dan energi selama masa pemerintahannya.
Soal swasembada energi, Prabowo menegaskan Indonesia akan bisa mencapai swasembada energi di bawah kepemerintahannya.
"Dalam keadaan ketegangan [geopolitik dunia], dalam keadaan kemungkinan terjadi perang di mana-mana, kita harus siap dengan kemungkinan paling jelek. Negara-negara lain harus memikirkan kepentingan mereka sendiri. Kalau terjadi hal yang tidak kita inginkan, sulit akan kita mendapatkan sumber energi dari negara lain," kata Prabowo.
Untuk itu, dia menyebut Indonesia harus melakukan swasembada energi dengan mengolah kelapa sawit menjadi solar maupun bensin, demikian juga sumber tanaman lain seperti singkong, tebu, dan jagung yang harus dimanfaatkan sebagai bahan bakar ramah lingkungan.
"Kita juga punya energi bawah tanah geothermal yang cukup, batu bara banyak, energi dan air yang sangat besar. Pemerintah yang saya pimpin nanti akan fokus untuk mencapai swasembada energi," kata Prabowo.
(ain)