Kedua, saham perusahaan telah mengalami suspensi baik di pasar reguler dan pasar tunai, dan/atau di seluruh pasar setidaknya selama 24 bulan terakhir.
Sebagai catatan, saham SRIL sudah disuspensi perdagangannya oleh BEI 18 Mei 2021. Dengan kata lain, saham SRIL sudah disuspensi lebih dari tiga tahun.
Meski begitu, BEI masih memberikan waktu bagi perusahaan yang terancam delisting untuk menunjukkan upaya membangkitkan kembali kelangsungan usaha (going concern). Ini mengapa meski sudah lebih dari dua tahun, masih banyak saham termasuk SRIL yang belum delisting.
Selain itu, masih mengacu pada peraturan tersebut, delisting juga bisa dilakukan atas perintah Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Sritex (SRIL) dinyatakan pailit oleh PN Semarang dengan putusan dalam perkara nomor 2/Pdt.Sus-Homologasi/2024/PN Niaga Smg tertanggal Rabu, 28 Agustus 2024. Pemohon dalam perkara tersebut adalah PT Indo Bharat Rayon.
Sementara, para termohon adalah Sritex, dan tiga perusahaan lainnya yakni PT Sinar Pantja Djaja, PT Bitratex Industries, dan PT Primayudha Mandirijaya.
"Menyatakan Sritex, PT Sinar Pantja Djaja, PT Bitratex Industries, dan PT Primayudha Mandirijaya Pailit dengan segala akibat hukumnya," tulis petitum halim, dikutip melalui lama sistem informasi penelusuran perkara (SIPP) PN Semarang.
Putusan tersebut juga secara langsung membatalkan Putusan Pengadilan Niaga Semarang Nomor No. 12/ Pdt.Sus-PKPU/2021.PN.Niaga.Smg Tanggal 25 Januari 2022 mengenai Pengesahan Rencana Perdamaian (Homologasi).
Sritex, perusahaan yang sudah berdiri sejak 1966, tengah kesulitan keuangan dalam beberapa tahun terakhir. Dalam laporan keuangan kuartal I-2024, perusahaan masih membukuan rugi sebesar US$14,79 juta, membengkak 32,90% secara tahunan (year-on-year/yoy) dari sebelumnya US$9,25 juta.
Adapun, dalam laporan yang sama, Sritex secara grup juga mencatatkan jumlah karyawan tetap hingga akhir Maret 2024 menjadi sebanyak 11.249 karyawan, menurun sekitar 20% dari periode yang sama tahun sebelumya yang sebanyak 14.138 karyawan.
Kemudian, Sritex juga melaporkan defisit dan defisiensi modal hingga 31 Maret 2024 dan 31 Desember 2023 masing-masing sebesar US$1,17 miliar dan US$1,16 miliar.
Akibat kondisi kerugian yang terus dialami tersebut, manajemen Sritex juga menilai kondisi ini mengindikasikan adanya suatu ketidakpastian material yang dapat menyebabkan keraguan signifikan atas kemampuan Grup untuk mempertahankan kelangsungan usahanya.
(red)