Logo Bloomberg Technoz

Namun, belum selesai sampai di situ, Sritex kemudian kembali menghadapi gugatan. Kali ini dari PT Indo Bharat Rayon, yang mengeklaim bahwa Sritex tidak memenuhi kewajiban pembayaran utang yang telah disepakati.

Per 2023, liabilitas Sritex menembus US$1,6 miliar. Liabilitas jangka pendek perusahaan mencapai US$113 juta, terdiri dari utang jangka pendek US$11 juta, utang usaha jangka pendek US$31,86 juta, dan surat utang jangka menengah US$5 juta.

Sementara itu, liabilitas jangka panjang SRIL menyentuhUS$1,49 miliar, terdiri dari utang bank US$858,04 juta, obligasi neto US$371,86 juta, dan utang usaha jangka panjang kepada pihak lain US$92,51 juta. 

Dalam laporan keuangan kuartal I-2024, perusahaan masih membukukan rugi sebesar US$14,79 juta, membengkak 32,90% secara tahunan atau year on year (yoy) dari sebelumnya US$9,25 juta.

Adapun, dalam laporan yang sama, Sritex secara grup juga mencatatkan jumlah karyawan tetap hingga akhir Maret 2024 menjadi sebanyak 11.249 karyawan, menurun sekitar 20% dari periode yang sama tahun sebelumya yang sebanyak 14.138 karyawan.

Kemudian, Sritex juga melaporkan defisit dan defisiensi modal hingga 31 Maret 2024 dan 31 Desember 2023 masing-masing sebesar US$1,17 miliar dan US$1,16 miliar.

Akibat kondisi kerugian yang terus dialami tersebut, manajemen Sritex juga menilai kondisi ini mengindikasikan adanya suatu ketidakpastian material yang dapat menyebabkan keraguan signifikan atas kemampuan Grup untuk mempertahankan kelangsungan usahanya.

Puncaknya pada awal pekan ini, PT Indo Bharat Rayon sebagai pemohon meminta Putusan Pengadilan Niaga Semarang Nomor No. 12/Pdt.Sus-PKPU/2021.PN.Niaga.Smg tanggal 25 Januari 2022 mengenai Pengesahan Rencana Perdamaian (Homologasi) dibatalkan.

Dengan demikian, pemohon meminta para termohon dinyatakan pailit dengan segala akibat hukumnya.

(prc/wdh)

No more pages