Pemodal asing banyak hengkang dari pasar keuangan Indonesia. Data yang dikompilasi oleh Bloomberg mencatat, sepanjang Oktober ini atau selama kuartal IV, arus keluar modal asing telah mencapai US$488,6 juta. Dengan kurs dolar AS saat ini, nilai itu setara dengan Rp7,63 triliun.
Arus keluar merata terutama di pasar saham. Pada perdagangan kemarin, misalnya, asing membukukan net sell senilai Rp2,72 triliun, itu menjadi nilai penjualan bersih oleh investor asing terbesar sehari dalam hampir dua pekan perdagangan. Sementara di pasar surat utang, data terakhir per 22 Oktober, asing masih mencatat net buy Rp706,8 miliar.
Arus keluar modal asing itu sudah berlangsung sejak beberapa pekan terakhir. Data termutakhir yang dilansir oleh Bank Indonesia mencatat, berdasarkan setelmen transaksi periode 14-17 Oktober, pemodal asing telah mencatat net outflows senilai Rp1,09 triliun. Terdiri atas, net sell di Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) senilai Rp5,31 triliun. Pada saat yang sama, asing mencatat posisi net buy Surat Berharga Negara (SBN) senilai Rp3,3 triliun dan saham Rp930 miliar.
Bank Indonesia menilai, volatilitas jangka pendek masih akan terjadi terutama karena sentimen prospek bunga The Fed dan hasil Pilpres AS. Akan tetapi, rupiah dinilai masih akan bertahan menghadapi guncangan jangka pendek itu.
BI juga terus berjaga di pasar untuk memastikan rupiah tidak berfluktuasi terlalu tajam dengan memastikan keseimbangan penawaran dan permintaan di pasar valas, kata Direktur Eksekutif Pengelolaan Moneter dan Aset Sekuritas Bank Indonesia Edi Susianto seperti dilansir oleh Bloomberg News.
Pasar Makin Pesimistis
Pelaku pasar saat ini makin pesimistis memandang prospek penurunan bunga The Fed ke depan. Kekhawatiran bahwa kebijakan fiskal AS pasca Pilpres nanti berpotensi membebani defisit makin besar sehingga bisa memicu inflasi, ekspektasi terhadap tingkat bunga The Fed jadi ikut terseret.
Pasar menurunkan probabilitas penurunan bunga The Fed tahun 2025 yaitu dari tadinya sebanyak 5-8 kali penurunan, menjadi 2-4 kali pemangkasan saja di mana itu lebih mendekati proyeksi FOMC bulan lalu sebanyak 4-5 kali penurunan.
Alhasil, investor meminta premi lebih besar di pasar surat utang. Yield Treasury, surat utang AS, melesat ke level tertinggi sejak Juli. Pergolakan di pasar Treasury mempersempit selisih imbal hasil dengan RI, kini hanya 253 bps. Perkiraan tim analis Mega Capital Sekuritas, tekanan jual akan terus berlangsung di pasar obligasi dalam negeri hingga selisih imbal hasil investasi kembali melebar ke kisaran 280 bps.
"Pasar kini khawatir dengan pasar obligasi. The Fed telah memperkirakan penurunan bunga acuan terlalu agresif dibandingkan apa yang benar-benar dibutuhkan oleh perekonomian." kata Head of Investment Fulcrum Asset Management, seperti dilansir oleh Bloomberg News.
Pada Rabu, The Fed merilis Beige Book yang menunjukkan aktivitas stagnan di sebagian besar wilayah AS sejak September dan ada kekhawatiran seputar Pilpres 5 Noveber nanti.
Pada bagian lain, taruhan bahwa Donald Trump akan memenangi Pilpres yang tinggal hitungan hari yang makin besar, juga menaikkan pula permintaan yield investor karena kebijakan Trump dinilai akan makin memicu inflasi di masa mendatang.
Pergolakan pasar keuangan global sepertinya akan bertahan sampai data baru yang pivotal akan dirilis pekan depan. Minggu depan, AS akan melansir laporan pasar tenaga kerja Oktober yang bisa membantu para investor menghitung lagi ekspektasi kebijakan bunga acuan AS.
Menyerbu Emas dan Bitcoin
Di tengah turbulensi pasar yang makin kencang, para pemilik dana global terindikasi menyerbu dua aset pilihan lain selain dolar AS. Yakni, emas dan Bitcoin.
Emas, Bitcoin dan dolar AS menjadi 'triumvirat' perburuan investor di seluruh dunia. Harga emas berulang kali mencetak rekor harga tertinggi baru dalam sejarah. Pagi ini, harga emas di Asia bergerak lebih stabil di US$2.726,10 per troy ounce. Rekor tercipta pada Selasa lalu di level US$ 2.749,01 per troy ounce.
Bitcoin juga semakin banyak diserbu investor. Harganya melompat 0,82% pagi ini ke level US$67.132,98 dan diprediksi akan menyentuh level rekor US$80.000 pada akhir November ini, tak peduli siapa pemenang Pilpres AS.
"Saya percaya konsensus pasar saat ini adalah Bitcoin akan mencapai performa terbaik siapapun pemenang Pilpres AS. Analisis kami menunjukkan, aktivitas kontrak opsi seputar pilpres menunjukkan bias yang sangat besar," kata David Lawan, Head of Research di perusahaan broker kripto FalconX, dilansir dari Bloomberg News.
Kontrak opsi yang memberi pembeli hak membeli Bitcoin di harga tertinggi baru, makin banyak diserbu para pelaku pasar.
Para triliuner dan hedge fund kelas kakap terang-terangan menyatakan posisi bullish atas emas dan bitcoin, seperti ditunjukkan oleh Paul Tudor Jones.
Investor legendaris ini pernah memberikan peringatan akan 'bom waktu utang' AS yang kini menjadi salah satu sumber kekhawatiran terbesar pelaku pasar, menyusul janji kampanye dua kandidat yakni Kamala Harris dan Donald Trump yang sama-sama populis dan mengimplikasikan biaya anggaran besar.
"Semua hal menunjukkan inflasi akan meningkat. Saya membeli emas dan bitcoin. Menurut saya, komoditas kurang diminati, makanya saya beli komoditas," kata Jones dalam wawancara di program Square Box CNBC.
Defisit fiskal AS diprediksi menyentuh 122% dari Produk Domestik Bruto pada tahun 2034, mengacu pada proyeksi Kongres AS. Jones menilai proyeksi itu sangat konservatif. Dengan kata lain, angka defisit bisa lebih besar.
"Di bawah Trump, defisit bisa meningkat sebesar US$500 miliar per tahun. Di bawah Harris, defisit bisa naik US$600 miliar per tahun. Pasar Treasury tidak akan menoleransinya," kata Jones.
(rui/aji)