Bloomberg Technoz, Jakarta – Penasihat Khusus Presiden urusan Energi, Purnomo Yusgiantoro, mengatakan netback dari dimetil eter (DME), sebagai produk akhir dari hilirisasi batu bara, tidak bisa bersaing dengan liquefied petroleum gas (LPG) yang berasal dari impor dan mendapatkan subsidi dari pemerintah.
Sekadar catatan, nilai netback adalah probabilitas harga tertinggi yang bersedia dibayar konsumen atau pembeli untuk mendapatkan sumber energi tertentu.
Hal tersebut yang pada akhirnya melandasi hengkangnya investor asal Amerika Serikat (AS), Air Products & Chemical Inc (APCI), pada proyek penghiliran batu bara menjadi DME di Indonesia, yang menyebabkan megaproyek substitusi impor LPG itu terkatung-katung hingga saat ini.
“Ada satu studi, kenapa kok [APCI] pull out di Sumatra Selatan? Dihitung netback. Dihitung kalah [bersaing dengan LPG impor]. Kecuali harga batu bara di itu US$15/ton. Kalau ini US$15 dia compatible dengan harga LPG,” ujar Purnomo dalam agenda Tinjauan Kebijakan Mendukung Transisi Energi dan Target Pertumbuhan Ekonomi Pemerintahan Baru, Selasa (22/10/2024).
Purnomo menggarisbawahi perbandingan antara LPG dengan DME—yang sebenarnya juga digadang-gadang sebagai pengganti LPG — tidak berada pada level yang sama atau apple to apple.
Terlebih, LPG yang berasal dari impor itu masih mendapatkan subsidi dari pemerintah dan menciptakan harga yang makin kompetitif.

Menurutnya, jawaban dari permasalahan ini adalah skema penyaluran subsidi dari LPG diubah menjadi bantuan langsung tunai (BLT) dan harga komoditas energi itu kembali mengikuti pasar.
“Lalu jawabannya apa? [LPG] yang subsidi ini dinaikkan [harganya], berani tidak?,” ujarnya.
Tahan 150 Tahun
Purnomo menggarisbawahi Indonesia memiliki cadangan batu bara yang melimpah, yakni bisa mencapai 50 tahun. Bahkan, bila sumber daya dikonversi menjadi cadangan yang terbukti, batu bara di Indonesia bisa bertahan hingga 150—200 tahun.
Sekadar catatan, Asosiasi Pertambangan Batu Bara Indonesia/Indonesia Coal Mining Association (APBI/ICMA) mencatat Indonesia memiliki cadangan batu bara sekitar 31 miliar ton dengan potensi sumber daya sampai 97 miliar ton.
“Jadi di satu sisi kita punya fossil fuel yang kotor, batu bara. Namun, di sisi lain ini banyak jumlahnya. Kalau kalian ditanya, pasti jawabannya begini; ‘Kita manfaatkan yang besar ini, tetapi dengan teknologi, supaya CO2-nya tidak [besar]'. Itu jawabannya sebagian bisa diberikan pada coal liquefaction dan coal gasification,” ujar Purnomo, yang juga mantan Menteri ESDM periode 2001—2009 itu.
Sebelumnya, Presiden Indonesia ke-7 Joko Widodo meresmikan peletakan batu pertama atau groundbreaking hilirisasi batu bara menjadi DME di Kabupaten Muara Enim, Provinsi Sumatra Selatan pada 2022, yang merupakan proyek hilirisasi batu bara menjadi DME dan hasil kerja sama PT Bukit Asam (Persero) Tbk (PTBA) dan PT Pertamina (Persero) serta dengan APCI dari AS saat itu.
Namun, APCI memilih untuk hengkang lantaran memilih untuk fokus menggarap proyek hidrogen biru di AS, setelah dijanjikan insentif menarik dari Presiden Joe Biden.
Selain itu, APCI juga memutuskan untuk hengkang pada proyek bersama PT Kaltim Prima Coal (KPC), yang merupakan anak usaha dari PT Bumi Resources Tbk (BUMI).
(dov/wdh)