Hal itu, membuat Neraca Perdagangan tercatat masih surplus. Sedangkan sentimen dari global, China rilis data pertumbuhan ekonomi pada kuartal I-2023 melonjak sebesar 4,5% YoY dibandingkan 2,9% Q4 2022. Penguatan ekonomi China ini tak lepas dari kebijakan reopening.
Pasca reopening China, mobilitas masyarakat kembali meningkat sehingga mendorong pulihnya industri dan mendorong permintaan perdagangan baik dari segi ekspor dan impornya. Hal ini juga menjadi sentimen positif untuk Indonesia dilihat dari kontribusi ekspor, China masih menjadi mitra dagang terbesar dan mengalami peningkatan permintaan ekspor dari china sebesar 12,66% pada Februari 2023 dibandingkan dengan bulan sebelumnya.
Sedangkan pada pasar Obligasi, berdasarkan Infovesta Govt. Bond Index tercatat turun 0,07% ke level 9.865,48. Sentimen penggerak pasar obligasi yakni pada RDG-BI, Bank Indonesia telah memutuskan untuk mempertahankan suku bunga BI-7DRR di level 5,75% dan level ini diyakini dapat sudah dapat mendorong inflasi turun ke target BI di akhir 2023.
"Dengan memperhatikan tingkat inflasi yang sudah terkendali, pelaku pasar melihat inflasi pada bulan ini akan meningkat secara seasonal karena didorong musim lebaran dari sisi kenaikan harga pangan dan biaya transportasi," tulis Infovesta.
Industri reksa dana nasional mengalami penurunan dalam kurun dua tahun terakhir. Tercatat pada 2021, nilai pencairan dana melampaui pembelian sehingga terjadi net redemption sebesar Rp 4,61 triliun.
Tren itu memuncak pada 2022 di mana nilai pencairan terus naik menembus Rp 990,24 triliun, sedang nilai subscription tercatat Rp 911,90 triliun. Sehingga tahun lalu terjadi net redemption sebesar Rp 78,34 triliun.
Beberapa waktu lalu, Direktur Eksekutif Asosiasi Pelaku Reksa Dana Investasi Indonesia (APRDI), Mauldy Rauf mengatakan penurunan kinerja reksa dana saham dipengaruhi oleh kondisi volatilitas tinggi yang terjadi di pasar.
“Kinerja reksa dana saham memang dilihat juga dari pergerakan underlying assetnya. Saham kan memang berdinamika. Jadi, memang dalam kondisi market seperti ini, volatilitasnya tinggi karena ketidakpastian global. Itu juga mempengaruhi kinerja dari reksa dana, khususnya di reksa dana saham,” kata Mauldy saat dihubungi Bloomberg Technoz.
Mauldy mengungkapkan sejumlah faktor yang mempengaruhi saham sehingga menyebabkan penurunan reksa dana saham antara lain kondisi geopolitik global, khususnya perang Ukraina dan Rusia, serta negara-negara barat yang masih mengalami inflasi tinggi. Hal tersebut, lanjutnya, membuat investor merasa berada dalam ketidakpastian sehingga memutuskan untuk ‘wait and see’.
Meskipun demikian, lanjut Mauldy, tidak semua kinerja reksa dana mengalami penurunan. Ia mengatakan reksa dana pendapatan tetap (fix income) yang berbasis obligasi justru memiliki kinerja baik. Sementara itu, untuk reksa dana campuran, kinerjanya tergantung oleh komposisi aset mayoritas yang ada di dalamnya.
Alhasil, tahun lalu Nilai Aktiva Bersih (NAB) reksa dana anjlok menjadi Rp 507,68 triliun, ini adalah penurunan pertama kali dalam 9 tahun atau sejak 2013 silam. Sepanjang sejarah, penurunan NAB reksa dana baru terjadi beberapa kali saja yaitu pada 2005 saat terjadi krisis reksa dana, lalu 2008 ketika seluruh dunia terhantam krisis finansial global yang berepisentrum di Amerika, dan terakhir pada 2022 silam.
Memasuki kuartal 1-2023, tren penurunan NAB juga berlanjut. Data OJK mencatat, pada Januari lalu nilai NAB mencapai Rp 512,76 triliun. Lalu, bulan berikutnya menurun menjadi Rp 509,37 triliun. Pada Maret lalu, NAB reksa dana semakin menyusut menjadi Rp 504,18 triliun.
Data Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI) hingga akhir Maret lalu mencatat, total investor pasar modal di tanah air mencapai 10,76 juta orang di mana sebanyak 10,05 juta di antaranya adalah investor reksa dana. Sedangkan investor saham dan surat berharga lain mencapai 4,59 juta investor dan investor SBN mencapai 881,37 ribu investor.
Investor SBN mencatat pertumbuhan paling tinggi yaitu 6%, disusul investor reksa dana 4,7% lalu investor saham naik 3,53%. Secara keseluruhan, investor pasar modal di Indonesia tumbuh 4,4% selama kuartal 1-2023, didominasi oleh usia muda kurang dari 40 tahun mencapai 81% dari total.
Penurunan nilai dana kelolaan yang cukup dramatis tahun lalu hampir Rp 80 triliun, tidak dilihat oleh manajer investasi (MI) sebagai sinyal hilangnya pesona reksa dana.
(hps/aji)