Laporan Bank Indonesia yang dilansir hari ini menyebut, uang beredar dalam arti luas (M2) yang mencerminkan likuiditas perekonomian pada September, tercatat sebesar Rp9.044,9 triliun, atau tumbuh 7,2% year-on-year (yoy). Pertumbuhan itu sedikit lebih rendah dibanding bulan sebelumnya yang sebesar 7,3% yoy.
Perlambatan pertumbuhan uang beredar pada September terutama karena laju uang beredar sempit (M1) yang hanya tumbuh 6,9% yoy, lebih lambat dibanding bulan sebelumnya 7% yoy. Sementara uang kuasi, yakni uang yang beredar yang disimpan dalam rekening tabungan, giro juga deposito, tumbuh 5,3%, juga melambat dibanding bulan sebelumnya 5,6%.
Penurunan pertumbuhan uang beredar pada September, memperpanjang tren perlambatan yang sudah terjadi sejak Juli lalu. Terakhir terjadi pertumbuhan positif uang beredar adalah pada Mei di mana M2 tercatat tumbuh 7,8%, dibanding 7,6% pada bulan sebelumnya.
Bank Indonesia menjelaskan dalam laporannya, perkembangan uang beredar yang melambat pada September terutama karena penyaluran kredit yang lebih rendah yaitu hanya tumbuh 10,4% dari tadinya 10,9%.
Selain itu, tagihan bersih sistem moneter kepada Pemerintah Pusat juga turun dengan tumbuh 12,3% dari tadinya 12,5%. Sementara aktiva luar negeri bersih nilainya terkontraksi hingga -0,3%, sedikit lebih rendah dibanding Agustus yang terkontraksi -1,1%.
Aktiva luar negeri adalah tagihan BI kepada bukan penduduk, baik rupiah maupun valuta asing, yang antara lain terdiri dari emas, special drawing right (SDR), reserves position in the fund, uang kertas asing, giro, deposito berjangka, dan surat-surat berharga.
Deflasi Berlanjut
Uang beredar yang seret membuat kinerja penjualan ritel bisa semakin terseret lesu. Pada September, penjualan ritel diperkirakan terkontraksi alias turun -2,5% mom dan secara tahunan tumbuh melambat sebesar 4,7% yoy.
Peredaran uang nan seret bila terus berlanjut, maka bisa semakin memperpanjang periode deflasi perekonomian. Terlebih bila kelesuan penjualan ritel berlanjut hingga November. Bila dugaan itu jadi kenyataan, maka deflasi tahun ini berpeluang menyamai rekor terpanjang yang pernah terjadi pada 1998 silam kala krisis ekonomi pecah.
Dunia usaha sejauh ini juga sudah mengeluhkan sepinya permintaan. Kegiatan usaha melambat, pemakaian kapasitas produksi juga menurun, berdasarkan Laporan Survei Kegiatan Dunia Usaha termutakhir. Bukan cuma itu, kondisi keuangan dunia usaha juga membunyikan alarm peringatan terkait kondisi likuiditas, juga rentabilitas atau kemampuan perusahaan mencetak laba yang sama-sama menurun.
Alhasil, kelesuan dunia usaha berdampak pada penggunaan tenaga kerja yang makin rendah pula, mencerminkan rekrutmen yang rendah serta sinyalemen pemutusan hubungan kerja yang masih berjalan.
Situasi itu bisa menjadi lingkaran setan yang membahayakan perekonomian. Permintaan lesu membuat penjualan dunia usaha memburuk. Pengusaha akan menempuh efisiensi agar margin keuntungan tidak makin turun, termasuk mengurangi kapasitas produksi dan mengurangi tenaga kerja. PHK yang terus berlanjut akan membuat masyarakat kehilangan kekuatan konsumsi sehingga tidak melakukan pembelian. Demikian berputar terus.
BI Rate Susah Turun
Pelonggaran moneter yang diharapkan bisa membantu perekonomian agar kembali melaju, sepertinya juga tidak bisa diharapkan terlalu besar. Setelah memangkas bunga acuan pada September, BI mengerem langkah dengan menahan BI rate pada pekan lalu.
Ancaman pelemahan rupiah yang masih besar membuat BI tidak berani 'mendahului' keputusan bank sentral AS, Federal Reserve, dalam memangkas bunga acuan lebih jauh.
Dengan keterbatasan langkah otoritas moneter, besar harapan pengucuran stimulus fiskal bisa segera dilakukan oleh pemerintahan baru di bawah Presiden Prabowo Subianto.
Pertumbuhan ekonomi kuartal III-2024 diprediksi melambat dengan kenaikan hanya 5%, lebih rendah dibanding kuartal II-2024 sebesar 5%, menurut konsensus ekonom yang disurvei oleh Bloomberg.
Dalam taklimat media pekan lalu, Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal III 2024 akan berada di atas 5%. Hal ini terjadi di tengah dinamika ekonomi nasional yang masih terjaga baik seiring meredanya ketidakpastian ekonomi global.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menjelaskan kinerja ekonomi pada kuartal ketiga tahun ini melanjutkan capaian kuartal sebelumnya, di mana dorongan berasal dari konsumsi rumah tangga dan investasi yang diklaim positif.
-- dengan bantuan laporan Azura Yumna.
(rui/aji)