Logo Bloomberg Technoz

Rupiah juga tidak memiliki sokongan sentimen positif dari dalam negeri. Setelah pelantikan kabinet Presiden Prabowo Subianto kemarin, yang menjadi kabinet dengan jumlah pejabat terbanyak sejak era Orde Lama, sebagian pelaku pasar justru mengkhawatirkan kemampuan Prabowo dalam menggalang aliansi sehingga harus memberikan 'konsesi' jabatan dalam jumlah begitu besar. Kementerian yang semakin banyak juga bisa mengerek ego sektoral makin tinggi dan memicu tumpang tindih kebijakan

Meski di sisi lain, banyak nama lama di masa pemerintahan Presiden Joko Widodo menduduki posisi strategis, juga bisa dinilai sebagai upaya pemerintahan baru mempertahankan stabilitas kebijakan.

Hari ini, Bank Indonesia akan merilis data perkembangan Uang Beredar yang akan memberi gambaran kondisi likuiditas perekonomian, juga perkembangan kredit perbankan serta dana simpanan masyarakat. 

Dalam Survei Kegiatan Dunia Usaha terakhir yang dilansir oleh BI, terlihat bahwa kegiatan usaha saat ini menurun di tengah kondisi likuiditas yang kurang baik serta kemampuan korporasi mencetak laba juga tertekan. Indikasi yang dinilai menjadi output dari situasi pelemahan daya beli masyarakat dalam beberapa bulan terakhir.

Sinyal Fed & Peluang Trump

Pernyataan Gubernur Federal Reserve Bank of Kansas City Jeffrey Schmid melontarkan sinyal hawkish, menaikkan ekspektasi pasar akan kemungkinan ditahannya level Fed fund rate dalam FOMC bulan November.

Schmid menyatakan, ia mendukung penurunan suku bunga dengan kecepatan lebih lambat mengingat adanya ketidakpastian tentang seberapa rendah The Fed pada akhirnya harus memangkas suku bunga.

Schmid, dalam pernyataan publik pertamanya sejak Agustus, mengatakan ia berharap untuk siklus kebijakan yang lebih normal, di mana The Fed membuat penyesuaian sederhana untuk mempertahankan pertumbuhan ekonomi, harga yang stabil, dan lapangan kerja penuh.

Ia menyebut, penurunan suku bunga lebih lambat juga akan memungkinkan The Fed menemukan apa yang disebut level netral — di mana kebijakan tidak membebani atau merangsang ekonomi.

"Jika tidak ada guncangan besar, saya optimistis kita dapat mencapai siklus seperti itu, tetapi saya yakin itu akan membutuhkan pendekatan kebijakan yang hati-hati dan bertahap," kata Schmid pada hari Senin dalam sambutan yang disiapkan untuk sebuah acara di Kansas City, Missouri.

Pernyataan itu menurunkan ekspektasi pasar akan pemangkasan bunga 25 bps pada November, menjadi 86,5% dari tadinya mencapai 90,4%.

Di sisi lain, terindikasi bahwa pasar menaikkan taruhan dengan memegang dolar AS lebih banyak, jelang Pilpres AS dua minggu lagi. Hedge fund dan para manajer aset pada pekan kedua Oktober tercatat mengurangi posisi 'short' pada dolar AS sekitar US$8 miliar.

Potensi kemenangan Trump membesarkan pula peluang kebijakan pengenaan tarif masuk barang impor yang ia usung. Dolar AS pun disasar sebagai safe haven bila skenario itu terjadi.  

Di sisi lain, Gubernur The Fed Mary Daly pagi ini waktu Asia, atau malam waktu AS, melontarkan pernyataan yang lebih dovish. Ia menilai, belum ada alasan bagi The Fed untuk berhenti memangkas bunga acuan.

"Sejauh ini, saya tidak melihat alasan atau informasi yang menunjukkan bahwa kami tidak melanjutkan penurunan bunga acuan. Bunga saat ini sudah sangat ketat bagi perekonomian yang sudah berada di jalur menuju inflasi 2% dan saya tidak ingin melihat pasar tenaga kerja melaju lebih jauh," katanya.

Pernyataan Daly seolah mengimbangi sinyal hawkish Schmid dan mungkin membuat pasar sedikit mengerem pesimisme akan prospek penurunan bunga The Fed.

Namun, pasar sepertinya tidak terpengaruh dan tetap menaikkan taruhan pada dolar AS. Pada pembukaan pasar Asia pagi ini, mata uang Asia dibuka melemah seperti won Korsel yang turun 0,21%, lalu ringgit 0,1%, dolar Singapura turun 0,04%, juga yuan offshore 0,03%.

Sementara indeks saham juga tertekan di mana Kospi turun 0,38% pagi ini, disusul Kosdaq yang tergerus 0,33%.

(rui)

No more pages